Palembang, Pelita Sumsel – Menteri Sosial RI, Juliari P Batubara ditetapkan tersangka terkait kasus korupsi paket bantuan sosial (bansos) sembako penanganan Covid-19 di Kementrian Sosial (Kemensos).
Ketua KPK Firli Bahuri saat memberikan keterangan pers di Gedung KPK Jakarta, Minggu (6/12) sore mengatakan selain Juliari, KPK sebelumnya telah mengamankan beberapa orang tersangka lainnya terkait bansos sembako dengan nilai RP 5,9 triliun rupiah, diantanya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemensos, Matheus Joko Santoso yang juga pemilik PT RPI, Kabiro Umum Sekretariat Jenderal Kemensos Adi Wahyono, dan 2 orang lainnya dari pihak swasta yaitu Ardian IM dan Harry Sidabuke.
KPK menduga Juliari P Batubara menerima Rp 17 miliar sebagai ’fee’ pengadaan bantuan sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Saat operasi tangkap tangan (OTT) pada Sabtu (05/12) dini hari, tim KPK menyita uang tunai yang simpan di dalam 7 koper, 3 tas ransel dan amplop kecil berjumlah Rp 14, 5 miliar dalam pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing.
Diduga dalam kasus ini pelaksanaan proyek tersebut dilakukan dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemenso melalui Matheus.
Sementara itu, Manager Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi mengatakan bahwa pihaknya juga telah mengingatkan bahwa anggaran untuk penanganan bencana sangat berpotensi dikorupsi.
“Kalau kita melihatnya begini, bahwa pada periode di awal pandemi kita sudah ingatkan berkali-kali, hati-hati, buat anggaran penanganan bencana yang kaya’ gini (seperti ini) sangat rawan tuh. Karena, kalau belajar dari periode pertama seperti saat kasus korupsi alat kesehatan di Kementrian Kesehatan, atau penanganan kasus bencana di Palu korupsinya juga besar, apalagi kan ini nilainya sekitar 600 triliun lebih,” ujar Badiul.
Ia mengatakan bahwa pos anggaran penanganan Covid-19 diberikan dengan berbagai macam bentuk, salah satunya dalam bentuk sembako.
“Memang, pos anggaran itu kan besarnya dialokasikan untuk bansos dengan berbagai macam bentuk bantuan, salah satunya sembako yang ditangani oleh Kementrian Sosial. “Nah jika per unit harganya yang kita analisis sekitar 300 ribu per paket, kalai kemudian dipotong 10ribu tidak terasa ya, apalagi jumlahnya sangat besar,” katanya.
Manager Riset Seknas FITRA ini menyayangkan hal tersebut, padahal baru-baru ini Kementrian Perikanan dan Kelautan, Edhy Prabowo diamankan KPK karena kasus suap. “Jika melihat kasus ini, pemerintah seperti tidak belajar dari pengalaman periode-periode sebelumnya. “Di satu sisi, misalnya pada kasus Edhy Prabowo, ini kan juga kasus fee, ekspor ini juga sama. Kalau itu Rp 1.800 per ekor, dikalikan berapa juta ton itu, kalau yang ini 10ribu dikalikan berapa ratus ribu paket, sehingga angkanya cukup besar,” ujarnya.
Menurutnya, Ini menjadi tantangan proses-proses penanganan korupsi di Indonesia, karena modusnya sekarang sudah beragam, walaupun secara bentuk sama, soal fee.
“Di satu sisi kita mengapresiasi kerja-kerja KPK, meskipun ini sbeenarnya belum menampakkan geliat yang cukup kuat, karena sejak dilantik relatif senyap operasi penangkapan atau pembongkaran kasus-kasus korupsi, hanya melanjutkan kasus-kasus yang terdahulu. “Misalnya, yang lagi hot dan menjadi pertanyaan publik soal Harun Masiku yang ga ketemu, itu kan jadi masalah juga bagi KPK. Tapi setidaknya kita mengapresiasi kerja KPK,” katanya.
FITRA juga mendorong agar pemerintah membuat dashboard khusus untuk anggaran Covid-19, tujuannya agar masyarakat juga bisa ikut memantau, melihat besaran anggaran. Ini sebenarnya menjadi salah satu bentuk transparansi anggaran.
“Karena tidak menutup kemungkinan, praktik yang terjadi di Kemensos, juga terjadi di kementrian-kementrian lain yang menangani anggaran penanganan Covid ini, misalnya bantuan untuk UMKM, bantuan masyarakat di desa, bantuan untuk tenaga kerja. Misalnya bantuan UMKM, distribusi untuk anggaran sektor UMKM ini kan banknya sudah diwarning oleh BPK, bermasalah bank yang mendistribusikan bantuan, jangan sampai kasus Kemensos ini juga terjadi di kementrian lainnya,” jelasnya.
Badiul juga mengatakan, ini juga menjadi evaluasi bagi pemerintahan Joko Widodo terhadap program pelaksanaan pandemi Covid-19 bahwa ternyata masalahnya sangat luar biasa.
“Itu baru di satu sektor, sementara penanganan Covid ini ada beberapa sektor, pemerintahan Jokowi harus melakukan evaluasi jangan membiarkan terjadi di kmentrian lain. Kalau ini terjadi, maka image bahwa tata kelola anggaran pemerintah buruk itu akan terjadi dari masyarakat, pemerintah itu korup, pemerintah itu sembrono akan terjadi,” jelasnya. (jea)