Hilirisasi Industri Serap Ribuan Tenaga Kerja 

waktu baca 5 menit
Senin, 12 Jun 2023 18:37 0 266 Admin Pelita

Jakarta, Pelita Sumsel – Kebijakan pemerintah terkait hilirisasi industri memberikan dampak yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Indoneisa.

Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Investasi & Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, dalam diskusi bertajuk “Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah” yang digelar Forum Merdeka Barat 9, Senin, 12 Juni 2023.

“Kalau kita lihat dari penciptaan lapangan kerja ini juga cukup signifikan. Di Weda Bay, Obi, Morowali dan Konawe itu jumlah tenaga kerjanya mencapai puluhan ribu. Gaji mereka pun rata-rata jauh di atas UMR. Jadi saya kira kontribusi dari sisi ekonomi real ada penciptaan lapangan kerja cukup signifikan,” ungkap Septian.

Selain penyerapan tenaga kerja, kebijakan hilirisasi juga disebut memberikan dampak postif terhadap peningkatan ekspor yang kemudian mampu menciptakan surplus neraca perdagangan.

“Saya kira ini sesuatu yang cukup menarik sejak dua tahun terakhir, karena peningkatan ekspor yang cukup signifikan dari hilirasasi ini. Ini membantu terciptanya surplus neraca perdagangan dan current account,” bebernya.

Di sisi lain, kata Septian, kebijakan hilirisasi industri tersebut juga memberikan kontribusi yang besar terhadap stabilitas ekonomi makro dan kurs rupiah Indonesia.

“Jadi ini sangat penting untuk stabilitas dari kurs rupiah kita dan indikator makro ekonominya. Kontribusinya dari segi stabilitas makro ini sangat besar,” pungkasnya.

Terkait efek positif untuk industri dalam negeri, kebijakan tersebut dinilai mampu menumbuhkan investasi baru di dalam negeri seperti industri baja (stainless steel), kendatipun para investornya masih banyak dari luar negeri.

“Kalau kita lihat untuk industri besi baja yang dari nikel, sudah banyak tumbuh investasi baru dalam negeri walaupun investornya masih sebagian besar adalah asing,” kata Septian.

“Tapi ini adalah satu langkah baik karena sebelumnya kita masih banyak mengimpor stainless steel ini. Jadi neraca perdagangan kita untuk stainless steel ini mengalami defisit. Dengan adanya industri stainless steel yang tumbuh ini neraca perdagangannya bisa membaik,” lanjutnya.

Selain industri stainless steel, industri baja karbon (carbon steel) juga mulai bertumbuh di Indonesia dengan adanya program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah.

“Di sisi lain, ada juga dari carbon steel ini juga ikut tumbuh di Indonesia. Memang yang menjadi PR adalah integrasi ke arah hilir yang lebih lanjut. jadi kalau stainless steel mungkin lebih ke aplikasinya, misalnya untuk jarum suntik, sendok dan garpu. Ini yang sebenarnya menjadi target kita untuk bisa menarik investasi lebih lanjut,” katanya.

 

Siapkan Skema Investasi

Menurut Septian, saat ini pemerintah sudah melakukan sejumlah skema investasi yang dikembangkan pada arah penguatan kebijakan hilirisasi industri, salah satunya terkait modal yang disediakan.

Ia menerangkan, pengembangan investasi penguatan kebijakan hilirisasi industri tidak hanya mampu mengandalkan modal ekuitas, tetapi perlu ada sokongan dana dari perbankan dalam negeri.

“Memang investasinya rata-rata satu proyek itu cukup besar ya. Saya sangat jarang melihat ada proyek hiliriasai itu yang nilainya di bawah 1 miliar dollar, rata-rata di atas 1 miliar dollar. Dengan struktur seperti itu tentunya tidak hanya modal uequitas yang diperlukan, tetapi juga perlu pinjaman bank,” katanya.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga mendapat banyak dukungan dari lembaga keuangan internasional untuk memberikan pendanaan terkait pembangunan proyek-proyek hilirisasi di Indonesia.

“Jadi di awal saya kira banyak sekali dukungan dari lembaga keuangan internasional, terutama yang dari Tiongkok untuk memberikan pendanaan untuk proyek-proyek hilirisasi di Indonesia. Bahkan sekarang saya melihat bank-bank dari Singapura cukup agresif untuk ikut dalam pembiayaan proyek-proyek hilirisasi di Indonesia,” katanya.

Tak hanya dukungan dari lembaga keuangan internasional, beberapa bank dalam negeri juga disebut mulai turut terlibat dalam membiayai proyek-proyek hilirisasi di Indonesia.

“Tapi dalam beberapa bulan terakhir ini saya melihat bank-bank dalam negeri pun ikut aktif dalam pembiayaan tersebut. Rata-rata memang, misalnya dari 1 miliar dollar, biasanya 30 persen itu adalah ekuitas dan 70 persen adalah pinjaman bank,” ungkap Septian.

 

Target Hilirisasi Pemerintah

Septian menjelaskan, saat ini pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi telah menargetkan beberapa hal penting terkait hilirisasi.

Pertama, pemerintah akan membentuk ekosistem industri yang didukung oleh hilirisasi dari komoditas yang dimiliki, seperti timah, bauksit, nikel, tembaga dan kobalt.

“Jadi, strategi hilirisasi terfokus untuk membentuk ekosistem mobil listrik yang kompetitif,” terangnya.

Kedua, pemerintah juga mendorong praktek-praktek pengelolaan lingkungan yang lebih baik untuk kawasan industri smelter di Indonesia.

“Tidak hanya di smelternya, tapi bagaimana kita mendorong untuk di tambangnya juga melakukan praktek pengelolaan lingkungan yang baik,” katanya.

Ketiga, pemerintah telah menargetkan beberapa investor untuk mendorong progres hilirisasi di komoditas yang lain.

“Saya kira untuk smelter ini cukup optimal. Namun kita juga harus memastikan praktik-praktik pengelolaan lingkungannya juga bisa terjamin dengan baik. Ini yang sekarang kita sedang memastikan bahwa tidak boleh kalau hanya sekedar bangun smelter tapi mengabaikan aspek-aspek lingkungan,” ungkapnya.

 

Tantangan hilirisasi

Septian juga mengakui, saat ini pemerintah berhadapan dengan sejumlah tantangan hiliriasai industri, semisal tariff barier yang diciptakan negara-negara lain.

“Jadi kalau kita lihat, produk-produk nikel hasil hilirisasi kita itu banyak dikenakan anti dumping, anti subsidi, terutama dari Uni Eropa,” ungkapnya.

Hal ini yang menurutnya menjadi perhatian serius pemerintah, meskipun sejumlah negara seperti India, Korea Selatan sudah memulai melakukan investigasi terkait hal tersebut.

“Saya kira ini tantangan utama yang harus kita hadapi saat ini. Karena kalau produk hilirnya dikenakan trade remedies seperti itu, ini akan menjadi isu yang besar ya, karena barang kita menjadi tidak kompetitif di pasar internasional,” terangnya

Selain soal tariff barier, salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengintegrasikan seluruh komoditas yang kita miliki sehingga menciptakan ekosistem industri yang kompetitif.

“Misalnya, untuk bikin mobil listrik kita punya tembaga, kita punya timah, kita punya nikel, kita punya bauksit, sehingga produk-produk hilirisasinya bisa membentuk ekosistem mobil listrik,” katanya.

“Jadi akan lebih mudah buat kita menarik investasi pabrikan-pabrikan mobil listrik untuk masuk ke Indonesia,” tambahnya. (Ril)

LAINNYA