Jakarta, Pelita Sumsel – Meski perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dan menerima beban ganda dalam kondisi konflik, namun tak jarang mereka juga menjadi agen penjaga perdamaian. Komitmen Indonesia terhadap pelibatan perempuan dalam proses penyelesaian konflik pun tidak tanggung-tanggung. Indonesia telah memiliki RAN P3AKS (Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial) dan tercatat sebagai penyumbang women peacekeepers atau agen penjaga perdamaian perempuan terbesar ke-7 di dunia dan pertama di Asia Tenggara.
“Sebagai individu yang rentan, dalam kondisi konflik perempuan dapat dikatakan sebagai triple korban. Perempuan kerap kali mengalami kekerasan dan menerima dampak yang berlipat ganda. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat tepat Indonesia telah memiliki instrumen RAN P3AKS. RAN P3AKS merupakan wujud kemauan politik pemerintah dan rakyat Indonesia dalam rangka mencegah berkembangnya eskalasi kekerasan berbasis gender pada berbagai wilayah konflik di masa mendatang,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Vennetia R Danes pada Webinar Perayaan 20 Tahun United Nations Security Council Resolution (UNSCR) 1325, Perempuan Perdamaian dan Keamanan yang diselenggarakan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia secara virtual (4/11).
Vennetia menambahkan bahwa RAN P3AKS sudah menjadi acuan bersama, terutama di daerah rawan konflik dan pasca konflik, seperti di Provinsi Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Lampung, dan Sulawesi Tengah. Bahkan sebagai komitmen daerah dalam upaya implementasi di wilayahnya, kepala daerah tersebut telah menurunkan dalam bentuk Peraturan Gubernur tentang Kelompok Kerja (Pokja) P3AKS untuk pelaksanaan Rencana Aksi Daerah (RAD) P3AKS.
Country Representative Aman Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah mengatakan bahwa RAN P3AKS merupakan satu-satunya instrumen dalam merespon kondisi perempuan dan anak di wilayah konflik, serta kunci untuk memastikan inklusi perempuan. RAN P3AKS juga telah mendorong terintegrasinya penanganan konflik sosial satu pintu.
Di satu sisi, RAN P3AKS belum cukup dikenal dalam konflik Sumber Daya Alam dan ekstremisme kekerasan, serta masih lemahnya mekanisme monitoring RAN P3AKS. Namun, RAN P3AKS mampu menginspirasi kerja-kerja masyarakat sipil dalam membangun arsitektur perdamaian di tingkat lokal.
Tenaga Ahli Utama Staf Kantor Kepresidenan RI, Ruhaini Dzuhayatin mengatakan selain adanya RAN P3AKS, partisipasi penuh dan pelibatan yang sangat berarti dari perempuan penting bagi proses penyelesaian konflik.
“Partisipasi penuh dan pelibatan yang sangat berarti dari kaum perempuan penting bagi proses penyelesaian konflik. RAN P3AKS menjadi modal bagi kita untuk menguatkan hal tersebut. Salah satu aspek yang kita miliki dan menjadi rujukan secara internasional adalah modalitas kita dalam menyelesaikan konflik sosial secara cepat dibandingkan dengan konflik lainnya di berbagai negara. Hal ini tidak terlepas dari partisipasi dan relasi gender yang egaliter dalam penyelesaian konflik,” ungkap Ruhaini.
Ruhaini menambahkan bahwa di satu sisi dalam perundingan formal, keterlibatan perempuan masih seringkali terlupakan. Oleh karenanya, Ruhaini mengimbau agar daerah-daerah yang mengalami konflik untuk ikut mengawal keterlibatan perempuan, mulai dari manajemen, perundingan, hingga resolusi konflik.
Keterlibatan perempuan dalam kemajuan agenda perdamaian dan keamanan memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Ketua Satuan Tugas Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Satgas DK PBB) sekaligus Kepala Subdit Keamanan dan Perdamaian Internasional Kementerian Luar Negeri, Rina Setyawati mengatakan bahwa saat ini Indonesia tercatat sebagai penyumbang women peacekeepers atau agen penjaga perdamaian perempuan terbesar ke-7 di dunia dan pertama di Asia Tenggara.
Rina bercerita bahwa Indonesia di berbagai forum internasional secara aktif berusaha untuk mengedepankan aspek keterlibatan perempuan dalam perdamaian dan keamanan. Hal tersebut dibuktikan dengan upaya Indonesia untuk mengubah stigma yang awalnya perempuan sebagai korban dalam kondisi konflik, menjadi perempuan sebagai agen perdamaian dan keamanan internasional.
“Di wilayah konflik, women peacekeepers dianggap sangat efektif dalam membantu mendorong perdamaian. Terutama di masa pandemi, para perempuan agen perdamaian tidak hanya berperan dalam melakukan sosialiasi kesehatan, namun juga mampu menjaga situasi tetap kondusif. Agen perdamaian perempuan juga mampu membangun kepercayaan masyarakat, terutama dalam memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak,” pungkasnya. (jea/rls)