Jakarta, Pelita Sumsel – Presiden Jokowi melantik 20 duta besar di Istana. Salah satunya adalah Suryopratomo Senin (14/9) pagi. Ia salah satu dari hanya sedikit wartawan yang berhasil menjadi duta besar sepanjang sejarah Indonesia. Tommy dipercaya Presiden menjadi Duta Besar Indonesia untuk Singapura. Dia dubes pertama untuk Singapura yang berlatar belakang jurnalis.
Tommy, sapaan akrab wartawan senior, dan mantan Pemimpin Redaksi Kompas itu. Wartawan Kompas pertama yang mendapat pepercayaan menjabat pemred Harian Kompas pada tahun 2000. Tommy menggantikan Jakob Oetama —-pendiri dan pemilik kerajaan Kompas Gramedia yang menjabat pemred sejak media itu berdiri 1965.
Setelah menyelesaikan tugas di Kompas, Tommy pindah ke Metro TV dan menjadi pemred di stasiun milik Surya Paloh. Kemudian menjadi Direktur Utama di MetroTV hingga 2019.
Pagi tadi saya kontak dia pertelpon. Menyampaikan ucapan selamat secara langsung, dan mendoakan dia berhasil dalam tugas mengemban amanah sebagai Dubes RI di Singapore. Di PWI Pusat, Tommy sudah tiga priode menjadi anggota Dewan Kehormatan yang saya ketuai. Dengan pelantikannya sebagai Dubes, otomatis Tommy harus melepaskan kursinya di DK PWI. Kami diskusi mengenai personil pengganti dia. Saya tanya orang yang dia rekomendasikan. Tommy menyebut beberapa nama.
Ketika masih diusulkan oleh Presiden, saya sempat menggoda dia. Saya bilang, akan menyurat ke Presiden menyampaikan tidak akan melepaskan Tommy karena DK PWI masih sangat membutuhkan pemikirannya. Tommy tertawa tergelak merespons.
Tidak mudah mengemban tugas Dubes. Selain seseorang harus punya kemampuan diplomasi, berpengetahuan luas, juga terutama mendapat kepercayaan Presiden. Tidak main-main, dubes adalah wakil kepala negara di wilayah penugasannya. Tommy memiliki kelengkapan itu.
Sebagai wartawan saja, sebenarnya Tommy sudah menjalankan separuh peran sebagai diplomat. Pembawaannya tenang tapi hangat, terbuka, dan solutif. Tommy senantiasa memilih jalan yang ‘ cool’ ketimbang yang konfrontatif. Ia lentur, makanya mudah bergaul dengan berbagai kalangan. Di luar jabatan formal, ia memiliki jabatan lain yang jumlahnya mungkin 8008 urusan. Waktu pengusaha Bob Hasan meninggal dunia Tommy mewakili keluarga melepas jenasah almarhum. Di masa pandemi corona di Tanah Air, ia tercatat sebagai relawan Satgas Penanganan Covid. Dengan posisi itu di kala banyak wartawan memilih kerja di rumah, Tommy setiap hari berkeliling di tempat-tempat rawan penularan covid, layaknya reporter media.
Hal lain yang tak tertandingi pada Tommy, adalah semangat silaturahimnya tinggi. Dia rajin menghadiri undangan. Dari undangan formal sampai undangan acara kekeluargaan. Sejauh catatan saya, Tommy hampir tak pernah absen menghadiri undangan saya. Apakah itu acara ulangtahun saya, hut media C&R; konser musik kantor; undangan perkawinan anak-anak saya— bahkan ikut menjadi among tamu beberapa kali. Juga acara buka puasa di rumah, aqiqah cucu, sekalian ikut acara kajian agama. Luar biasa. Wajar Tuhan menyayangi dia sehingga selalu memberinya kedudukan tinggi di mana dia ditempatkan.
“ Wajar kalau dia menang banyak,” istilah Karni Ilyas.
Akhir bulan September, Tommy sudah akan bertolak ke posnya di Singapura. Karena bertugas di masa pandemi, ia pun harus mengikuti protokol kesehatan negara itu. Dua minggu harus isolasi mandiri.
“ Siap-siap aja, Pak Said Didu akan datang ke tempat Anda di hari pertama tugas. Said Didu tidak akan menemui Anda, dia hanya akan memasang poster kampanye ManCity di pagar KBRI. Setelah itu dia akan kembali ke Tanah Air,” goda saya. Tommy tetawa tergelak-gelak. “ Jangan kasih tahu Bang, di Singapore nggak boleh demo. Biar dia ditangkap polisi di sana, “ sambungnya sambil terkekeh. Said Didu adalah sahabat kami. Mantan Sekretaris BUMN itu Adik kelas Tommy di IPB. Setiap hari — bisa sepanjang hari—Tommy -Said Didu bercanda seperti Tom & Jerry di Group WA. Tommy dikenal juga sebagai kolumnis bola. Man-City selalu jadi bulan-bulanan jika ditulis Tommy.
Suryopratomo lahir di Bandung 12 Mei 1961. Setelah lulus SMA, Tommy diterima kuliah di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1986, Tommy menyelesaikan studi pasca sarjananya di perguruan tinggi yang sama. Saat itu, dia punya dua pilihan: menjadi dosen dan kelak melanjutkan studi atau bekerja. Tommy memilih bekerja –sebuah keputusan yang ditentang Tjokroprawiro, sang ayah yang menghendaki Tommy melanjutkan studinya hingga S-3. Tommy kemudian mengirimkan empat lamaran pekerjaan, dan hanya Kompas yang memanggilnya. Tak pernah disangka jika akhirnya Tommy menjadi pemimpin redaksi Kompas, salah satu harian terkemuka di Indonesia di usianya yang masih muda kala itu, baru 39 tahun.
Empat tahun bergabung dengan Kompas, dia menjabat sebagai wakil kepala desk olahraga. Setahun kemudian Tommy dipindahkan ke desk ekonomi. Setelah itu dipromosikan menjadi redaktur pelaksana, dan pada 1 Februari 2000 Tommy menerima tongkat estafet dari Jakob Oetama sebagai pemimpin redaksi. (Ilham Bintang/jea/rls)