Oleh: Pranata Sukma Atmaja.
Sebagaimana telah diketahui oleh khalayak, Covid19 saat ini telah mengglobal.152 negara di dunia telah mengkonfirmasi terinfected. Kecepatan daya sebar Covid19, mahluk kecil berukuran 125 nanometer atau 0,125 mikrometer, ini sangat mengagumkan, hal ini tidak terlepas dari cara penularan dan kemajuan teknologi transportasi.
Keganasan Covid19 semakin bertambah menakutkan, dan menghuncang kesadaran publik, sebagai akibat efek smartphone dan media sosial yang mampu menembus batas-batas dan sekat-sekat informasi.
Singkat kata Dunia saat ini tengah dilanda kepanikan. Tidak ada berita yang lebih menarik saat ini ketimbang laporan statistik resmi yang senantiasa di update dan dikeluarkan oleh pejabat berwenang suatu negara tentang jumlah penduduk yang terinfeksi, dalam perawatan, sembuh atau meninggal dunia.
Hiruk pikuk Covid19 saat ini memang tak bisa dihindari.
Di Indonesia, perbincangan Covid19 kini semakin masuk kedalam ruang-ruang kajian teologis.
Di awal penetapan Social Distancing yang dilakukan pemerintah. Covid19 berhasil memunculkan problem keumatan.
Silang pendapat soal Takut Kepada Allah, Ibadah berjamaah di masjid, pelaksanaan sholat Jum’at di masjid dan pelarangan majelis-majelis ilmu, hingga cara tata cara menguburkan jenazah sempat menjadi ketegangan diantara para Alim Ulama. Sebelum akhirnya mereda.
Mereda, tetapi sepertinya belum berakhir.
Mereda karena pada umumnya kemudian tunduk pada situasi kedaruratan yang lebih rasional.
Meskipun umumnya begitu, ternyata ada sebagian kecil umat tetap mencoba menembus batas-batas yang mungkin. Mensiasati Keadaan.
Beberapa masjid kemudian mencoba bertahan dengan menjaga jarak sholat.
Pengurus masjid kemudian mengukur suhu tubuh serta membangun bilik disinfectan guna mendisinfectan para jamaah sebelum masuk ke dalam masjid.
Bahkan beberapa media menurunkan berita bagaimana pernikahan dilakukan secara online hingga penggunaan jas hujan oleh pasangan pengantin.
Pendek kata Covid19 memberikan warna baru pada beberapa aspek ibadah dan muamalah yang tentunya pada saatnya nanti harus mendapatkan persetujuan otoritas keagamaan secara syar’i.
Terhadap perkembangan kondisi sosial keumatan ini, Fiqh Islam tentu harus mampu segera merespon keadaan.
Keterlambatan merespon keadaan, boleh jadi akan mengakibatkan adanya pembenaran-pembenaran yang dilakukan atas nama agama.
Atas keadaan-keadaan yang demikian, penting pula kiranya menjawab pertanyaan bagaimana bila situasi darurat ini berkepanjangan? Apakah tetap berada dalam keadaan darurat?
Bagaimana Ulama kemudian mencari solusi bagi persoalan ibadah dan muamalah dalam situasi darurat yang berkepanjangan.
Penulis, sebagaimana semua manusia yang berada di planet bumi ini, tentu menginginkan wabah ini segera berakhir.
Tetapi bila melihat trend perkembangan persebaran Covid19 ini secara global maka boleh jadi masa darurat akan berlangsung secara maraton.
Mengapa Maraton?
Argumentasi ini berpijak pada fakta bahwa pertama, Covid19 berpindah melalui human to human, kedua kecepatan perpindahan didukung oleh kecepatan transportasi. Ketiga cara penanganan dan kecepatan penanganan yang berbeda dari sebuah negara dengan negara lainnya, menimbulkan potensi berulang wabah masuk kembali ke negara yang telah steril.
Berdasarkan argumentasi akan potensi tersebut, Umat Islam sepertinya harus mencari cara untuk segera berdamai dengan Covid19.
Alim Ulama harus segera berkumpul, membahas keadaan ini, terlebih mengingat Arab Saudi telah menetapkan menutup penuh layanan umrah selama satu tahun yang berimbas kepada ketidakpastian akan Ibadah Haji.
Alim Ulama harus mencari cara untuk keluar dari kedaruratan yang berkepanjangan.
Karena Masjid-masjid dan Baitullah tidak boleh terlalu lama di tinggal dalam keadaan sepi. Majelis-majelis Ilmu tidak boleh hilang. Juga muamalah harus tetap berjalan.
Singkatnya, kedaruratan atas Covid19 harus segera diatasi. Umat Islam tentu tidak bisa selamanya berlindung dibalik dalil kedaruratan. Umat juga tidak boleh dibiarkan untuk memutuskan sendiri-sendiri, sehingga menyebabkan tidak rapatnya shaf atau keluar dari jamaah.
Umat Islam Indonesia hendaknya senantiasa dituntun dijalan yang lurus penuh maslahah.
MUI dan Ormas-ormas Islam, dalam hal ini mungkin harus belajar betul dari Korea Selatan yang telah mampu mengatasi keadaan dengan tenang.
Untuk kemudian segera membicarakannya bersama pemerintah agar dapat menduplikasi semua cara dan kebijakan yang dilakukan oleh Korea Selatan.
Hal ini tidak lain bertujuan agar Umat Islam mampu berdamai dan bertahan dengan Covid19 dalam setiap gerak yang menjadi ibadah.
Sehingga keberadaan Covid19 tidak lagi menjadi sebab yang menggangu aktivitas ibadah dan muamalah. Tetapi menjadi sebab nikmatnya beribadah.
Akhirul Kalam. Semoga Allah senantiasa membimbing Umat Islam dan bangsa Indonesia agar dapat segera keluar dari Krisis ini.
Billahittaufiq Walhidayah