Jakarta, Pelita Sumsel – Hari Anti Korupsi Internasional diperingati setiap tanggal 9 Desember. Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi harapan besar masyarakat terhadap penindakan para koruptor. Namun realitasnya, bangsa ini masih terjerembab pada kubangan korupsi yang semakin massif dilakukan oleh pengelola negara.
Berdasarkan data putusan Mahkamah Agung sampai tahun 2015 terdapat 2551 orang terpidana korupsi dengan total kerugian Negara ditaksir mencapai Rp 203,9 triliun setara dengan 8 persen APBN 2020 sebesar Rp 2.540.4 triliun. Dari kasus di atas terpidana kosupsi didominasi oleh Pegawai Negeri Sipil, sebanyak 1.115 orang dengan total kerugian negara Rp 26,9 triliun. Kedua, Legislatif dengan terpidana korupsi 480 orang, jumlah kerugian Negara Rp 2,0 triliun. Ketiga, Swasta/lainnya terpidana sebanyak 670 orang dengan kerugian negara Rp 82,6 triliun. Keempat, Badan Usaha Milik Negara/Daerah terpina korupsi 149 orang, jumlah kerugian Negara Rp 8,7 triliun. Kelima, Kepala Daerah 75 orang, jumlah kerugian Rp 1,8 triliun, dan Keenam, Lembaga Independen terpidan korupsi 62 orang dengan kerugian negara Rp 81,8 triliun.
Dari rilis yang diterima redaksi Pelita Sumsel, Rabu (10/12), Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan mengatakan kasus korupsi yang meningkat dari tahun ke tahun mengindikasikan minimnya integritas dari masing-masing individu pejabat negara, sehingga membuka ruang yang cukup lebar bagi langgengnya praktik korupsi di negeri ini.
“Hal ini dibarengi dengan lemahnya penegakan hukum dalam memberantas korupsi. Korupsi masih tinggi di level kementerian/lembaga dengan rata-rata 40 kasus dalam 4 tahun terakhir. Di lembaga legislatif (DPR dan DPRD) rata-rata kasusnya 8-9 kasus. Yang tinggi korupsi di tingkat daerah dan mencapai puncaknya di 2019 dengan 66 kasus,” ujarnya.
Senada dengan Misbah, Manajer Riset FITRA Badiul Hadi mengatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak lama melalui berbagai cara dari mulai sosialisasi tentang bahaya korupsi di sekolah-sekolah, hingga pemberian hukuman yang ‘cukup’ berat bagi para pelaku korupsi. Namun, modus-modus korupsi misalnya pemberian suap dan fee tanda terima kasih, hingga berita operasi tangkap tangan terhadap pelaku korupsi masih jamak terjadi.
Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia merupakan nilai indeks yang mengukur sikap anti korupsi masyarakat. Semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya nilai IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif (bersifat terbuka) terhadap korupsi. Berdasarkan indeks perilaku anti korupsi di Indonesia (IPAK) yang dikeluarkan oleh BPS pada bulan Agustus 2020, memperlihatkan bahwa IPAK di Indonesia memang mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yang berarti masyarakat semakin cenderung anti korupsi.