Palembang, Pelita Sumsel – Pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtPA). Hal itu muncul saat peserta berbagi dan aling belajar mengenai masalah Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, khususnya di masa pandemi Covid-19, di rangkaian Puncak 16 hari aktivisme yang diselenggarakan Konsorsium PERMAMPU secara virtual, Kamis (10/12).
Kegiatan itu dihadiri 118 orang (108 perempuan dan 10 laki-laki) peserta dari 8 provinsi, dari Aceh sampai Lampung. Keprihatinan utama yang disoroti adalah kembali meningkatnya kasus perkawinan usia anak di Indonesia serta kekerasan terhadap perempuan yang khas di masa pandemi.
Para pembicara adalah dari lingkar internal Konsorsium PERMAMPU, baik dari WCC Sinceritas PESADA, CP WCC Bengkulu, WCC Palembang, Flower Aceh, Damar Lampung; juga dari dampingan yang diwakili Forum Perempuan Muda, FKPAR dari SUMBAR (LP2M), Perempuan Disabilitas dampingan APM Jambi, dan Perempuan Lansia dampingan PPSW Sumatera.
Sharing situasi lapang menyampaikan bahwa: WCC Sinceritas-PESADA menangani 127 kasus dengan mayoritas kasus KDRT (50%) dan mencatat telah terjadi kekerasan seksual terhadap anak perempuan yang diwarnai oleh perkenalan dan komunikasi online. Ancaman-ancaman untuk menyebarkan informasi hubungan sex yang sebenarnya adalah perkosaan, maupun mempermalukan karena tidak perawan dsb telah sangat mewarnai KTP di masa Pandemi. CP WCC Bengkulu mencatat sebanyak 64 kasus KTP yang dilayani selama masa pandemi Covid-19 dimana kasus tertinggi adalah KDRT/Kekerasan terhadap isteri. Sementara itu WCC Palembang dalam kurun Januari-November 2020 menangani 103 kasus kekerasan terhadap perempuan & anak dengan jenis kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual 51 kasus (49,5 %) dan kekerasan seksual secara online sebanyak 28 kasus yang naik signifikan dibanding tahun 2019 yang hanya 8 kasus.
Situasi Pandemi Covid-19 diwarnai dengan kembali meningkatnya kasus perkawinan usia anak di Indonesia. Data yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah Kab/Kota se Aceh mencatat pada tahun 2020 terdapat 640 kasus dispensasi perkawinan usia anak, dibanding tahun 2019 hanya sekitar 198 orang. Berdasarkan survey oleh Flower Aceh menemukan bahwa penyebab utama terjadinya perkawinan anak adalah karena kemiskinan, keluarga yang tidak rukun, dan putus sekolah. Selain itu juga karena masih kuatnya mitos-mitos yang salah tentang seksualitas dan reproduksi perempuan. Tidak hanya perkawinan anak yang meningkat di masa pandemi Covid-19, ternyata perceraian dari perkawinan anak sebelumnya pun ikut meningkat di Provinsi Lampung.
Suprihatin, perempuan disabilitas, salah satu anggota FKPAR di Jambi mengeluhkan bahwa di situasi pandemi Covid-19 menyebabkan pembatasan mobilitas, ketakutan, dan hilangnya pendapatan. Hal ini ditambah tidak efektifnya layanan kesehatan KSR di Puskesmas dan Kantor Urusan Agama yang sempat tutup, sehingga banyak kasus kawin siri yang merugikan posisi perempuan. Lica Veronika, perwakilan FPM Sumatera yang berbasis di Bengkulu menyatakan, kesulitan bertemu langsung dalam menghadapi masalah KSR yang dialami perempuan muda cukup mengganggu. Meski demikian, komitmen Forum Perempuan Muda untuk terus mengkampanyekan penghapusan kekerasan seksual dan perkawinan anak di masa pandemi Covid-19 dakan tetap berlanjut dengan tetap memperhatikan standar protokol kesehatan.
Situasi pandemi Covid-19 juga dikhawatirkan oleh Nurhayati, perempuan lanjut usia di Kampar, Riau; karena lansia rentan terinfeksi virus Covid-19, lansia rentan alami kekerasan (dijambret, dll) dan tidak ada pendapatan lagi. Ia berharap agar sistem perlindungan sosial pemerintah ke depan dapat memberi manfaat dan menjangkau perempuan lansia terutama dari rumah tangga miskin.
Sharing dari lapang ini ditanggapi oleh Pemerintah dan para pihak yang menjadi pendukung gerakan Advokasi HKSR yang dilaksanakan oleh PERMAMPU selama ini. Dari Mahkamah Agung, Dr. Mardi Candra S.Ag., M.Ag., M.H menyampaikan bahwa dispensasi perkawinan anak meningkat dimana hingga Oktober 2020 MA mencatat 54.469 perkara, yang naik dua kali lipat dari tahun 2019 hanya 24.894 perkara. Tingginya perkawinan anak di Indonesia tergolong nomor 7 di dunia atau nomor 3 di Asia ikut mendorong Pemerintah Indonesia menetapkan UU No 16 tahun 2019 perubahan pasal 7 UU Perkawinan No 1 tahun 1974 yang mewajibkan usia perkawinan minimal 19 tahun. Upaya MA untuk menangani perkara perkawinan anak dilakukan dengan membuat regulasi Perma No 5 tahun 2019, meningkatkan kapasitas hakim yang menangani perkara, dan mendorong Hakim & Panitera dalam menyelesaikan Permohonan Dispensasi Kawin agar lebih teliti, ramah anak dan tidak memakai atribut persidangan. Diakui bahwa masih banyak kasus KTP yang tidak ditanggapi cepat oleh aparat hukum, oleh karena itu diharapkan korban dapat mengadu ke lembaga pendamping perempuan khususnya LSM Perempuan agar mendapat advokasi. Perkawinan anak di bawah tangan juga masih kerap terjadi di masyarakat, praktik ini adalah tindak pidana yang melanggar UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak karena diduga terjadi kekerasan dan eksploitasi seksual anak.
Sementara itu dari Ibu Inong Sofiarini SSos MSi yang merupakan Femokrat pendukung PERMAMPU dari Aceh Utara, menyampaikan akan terus mensosialisasikan dan mendorong implementasi regulasi berpihak kepada perempuan baik di level provinsi hingga ke desa; agar dapat mengurangi kerentanan kelompok marjinal terhadap dampak pandemi Covid-19. Bapak Afrizal dari KUA di Gisting Lampung yang merupakan anggota Forum Multi Stakeholder pendukung PERMAMPU, menyampaikan mereka menyadari terjadi peningkatan perkara dispensasi perkawinan anak di masa pandemi Covid-19. Oleh karena itu KUA sangat hati-hati menangani permohonan perkawinan anak dan mendorong agar pasangan yang menikah membuat pernyataan tidak melakukan KDRT.
Di akhir perayaan puncak ini, Yudelmi yang mewakili Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput dan Sualjimah, Direktur APM membacakan pernyataan Konsorsium PERMAMPU yang menjadi Siaran Pers hari ini yang terdiri dari tiga catatan bagi Pemerintah dan Masyarakat, diantaranya endesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mencegah praktik kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan melalui platform online.
“Kedua, Mendorong pemerintah meningkatkan sistem perlindungan sosial untuk pemulihan dampak pandemi Covid-19 bagi masyarakat rentan seperti anak perempuan & remaja, lansia dan disabilitas. Terakhir, mendorong aparat penegak hukum menindak tegas pelaku perkawinan anak di bawah tangan yang merupakan tindakan kekerasan dan ekspolitasi seksual anak,” tutur Yudelmi.
Posisi PERMAMPU untuk 2021-2025 adalah mendorong agar Pemerintah daerah, Lembaga Adat dan Lembaga Keagamaan menjamin otonomi perempuan atas tubuh dan pikirannya, mengakui kemandirian dan kapasitas kepemimpinan perempuan akar rumput, sehingga perempuan dapat mengakses dan memanfaatkan kesempatan meningkatkan sumberdaya dan pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), dan bebas dari praktek-praktek yang membatasi otonomi perempuan atas tubuh dan pikirannya. (jea)