Palembang, Pelita Sumsel –
Bupati Muara Enim nonaktif, Ahmad Yani menyatakan Banding atas Putusan PN Palembang, karena majelis hakim dalam putusannya dianggap keliru dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan Putusan Pengadilan Tipikor. Pernyataan ini dilontarkan kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, melalui press release di Pengadilan Tipikor pada PN Palembang, Selasa (12/05/2020).
“Selain itu, hemat kami dalam putusan majelis hakim juga kurang dalam mempertimbangkan mengenai penyidik dan penuntut umum pada KPK yang tidak turut memanggil Ajudan Kapolda Sumsel dan Erlan (keponakan Kapolda Sumsel) masa itu, Irjen Pol Firli Bahuri, dalam kaitannya terhadap barang bukti uang USD 35,000. Kami juga melihat seolah-olah keterangan dari saksi yang merupakan pelaku utama dalam kasus ini, yaitu Elfin MZ Muchtar benar semua, tidak ada saksi lain yang dapat membantahnya,” papar Maqdir.
Menurutnya, hal tersebut tidak fair atau sangatlah tidak memenuhi rasa keadilan. Oleh karena itu dalam waktu sesegera mungkin, Tim Penasihat Hukum akan menyerahkan Memori Banding kepada Pengadilan Tinggi Palembang melalui Pengadilan Negeri Palembang, dengan harapan Kliennya, Ahmad Yani dapat segera dibebaskan oleh Majelis Hakim tingkat Banding pada Pengadilan Tinggi Palembang.
Adapun selain dari hal tersebut, lanjutnya perlu di sampaikan bahwa pada awalnya perkara ini adalah untuk merusak harkat dan martabat Kapolda Irjen Firli Bahuri yang pada saat itu sebagai calon Ketua KPK.
“Kami menduga ini, karena penyadapan intensif dilakukan sesudah Elfin menghubungi Ajudan Kapolda dan Erlan. Oleh karena mereka takut, malu tidak ada bukti yang cukup, maka pemeriksaan sebagai Tersangka terhadap Klien kami Bapak Ahmad Yani untuk mengonfirmasi terkait penyadapan tersebut baru dilakukan pada awal Desember 2019, padahal Klien kami ditangkap oleh KPK pada 2 September 2019,” tegasnya.
Maqdir melanjutkan, sungguh disesalkan tindakan Pimpinan KPK di bawah Agus Rahardjo dkk, yang tidak proporsional dalam menangani perkara ini. Pimpinan KPK sekarang harus menerima akibat kusutnya penanganan perkara ini.
Untuk diketahui, pada 5 Mei 2020 terdakwa Ahmad Yani oleh Majelis Hakim tingkat pertama (PN Palembang) dinyatakan telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal
12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Kemudian ia divonis 5 tahun penjara, dan pidana denda Rp200 juta subsider 6 bulan pidana kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 2,1 miliar subsider 8 bulan penjara.
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan JPU KPK yang meminta terdakwa divonis 7 tahun penjara,
dan pidana denda Rp300 juta subsider 6 bulan pidana kurungan, serta membayarkan uang pengganti senilai Rp 3,1 Miliar subsider 1 tahun penjara.
Sebelumnya pada 28 April 2020 Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim, Elfin MZ Muchtar oleh Majelis Hakim pada PN Palembang telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 12 huruf a UU Pemberantasan
Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Kemudian Elfin divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan pidana kurungan, serta mengembalikan uang pengganti senilai Rp2,365 miliar subsider 8 bulan penjara, Majelis Hakim juga menolak tuntutan JPU yang mengajukan Elfin sebagai justice collaborator (JC).
Sementara Robi Okta Pahlevi selaku kontraktor pelaksana proyek, sebelumnya oleh Majelis Hakim
pada PN Palembang telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Kemudian Robi divonis 3 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan pidana kurungan pada 28 januari 2020. (sel)