Banjar Negara, Pelita Sumsel – Harga kentang di tingkat petani Dataran Tinggi Dieng (DTD), Banjarnegara, Jawa Tengah kembali turun menjadi Rp 7.000 per kilogram.
Petani Kentang Desa Sumberejo, Batur yang juga pengurus anggota Petani Kentang Banjarnegara, Nurul Muntaha, mengatakan bahwa sebelumnya secara bertahap sejak akhir 2018, harga kentang turun menjadi Rp7.500 per kilogram pada akhir Januari 2019 lalu. Tetapi, mulai pekan ini harganya kembali turun menjadi Rp7.000 per kilogram.
“Sekarang Rp7.000 per kilogram, Mas. Turun lagi Mas,” katanya.
Menurut dia, harga kentang yang jatuh ke Rp7.000 per kilogram tidak bisa menutup biaya produksi. Agar tak merugi, harga kentang minimal Rp9.000 per kilogram.
Normalnya, per kilogram kentang dihargai di atas Rp12 ribu per kilogram. Pasalnya, kentang Dieng dikenal sebagai kentang berkualitas terbaik di Indonesia.
Dia mengungkapkan, sementara ini petani tak berencana kembali melakukan aksi demonstrasi seperti yang dilakukan pada 2016 ke DPR RI, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Saat itu, harga kentang benar-benar jatuh lantaran masuknya kentang impor.
Saat ini, pihaknya hanya berkomunikasi dengan Dinas Pertanian dan sejumlah instansi terkait lain di Banjarnegara. Petani berharap agar harga kentang membaik.
“Sementara ini kita belum (akan demonstrasi) Mas. Cuma, kita berharapnya ada kenaikan harga kentang untuk menutup biaya produksinya. Paling hanya menghubungi dinas-dinas terkait di Banjarnegara sih,” ujarnya.
Muntaha mengakui tak tahu kenapa harga kentang di Banjarnegara jatuh. Apakah karena panen melimpah di wilayah lain atau karena melimpahnya impor kentang di pasaran.
Yang jelas, kata dia, produksi kentang hanya dilakukan di daerah-daerah tertentu yang merupakan dataran tinggi, seperti Pangalengan, Bogor dan Pegunungan Tengger, Bromo. Namun, dua daerah ini produksi kentangnya tak melimpah seperti kentang Dieng.
“Kemungkinan juga karena impor,” jelasnya.
Karenanya, ia yakin penurunan harga kentang disebabkan oleh impor kentang. Kentang impor itu membanjiri pasaran dan menyebabkan kentang lokal terdesak. Karenanya, ia mendesak pemerintah untuk menghentikan impor kentang, atau setidaknya mengurangi kuota impor kentang agar petani tak semakin rugi.
“Kalau yang paling down itu Rp6.500 yang tertinggi kemarin mencapai Rp9.000. Tapi paling hanya 15 hari, kemudian turun lagi,” tuturnya.
Kini, petani di Kecamatan Batur yang 85 persennya adalah petani kentang mengalami krisis. Mereka terancam tak bisa membiayai budidaya kentang di musim berikutnya.
“Agar tidak rugi, maksudnya untuk menutup biaya produksi, minimal Rp9.000 per kilogram,” terangnya. (net)