Oleh :
Arafah Pramasto, S.Pd.
(Pendamping Sosial dan Penulis Buku Kesejarahan)
Talang Tuo dan Alam
Sebuah pertunjukan yang digelar oleh Teater Potlot menampilkan karya berjudul “Puyang : The Spirit of Talang Tuo”, bertempat di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) pada 26 Juli 2018 kemarin.
Menurut berita yang dilansir dari beritapagi.co.id (26/7), Taufik Wijaya sebagai penulisnya mengatakan bahwa “Puyang” dalam naskah drama tersebut merupakan metamorfosa alam bersama manusia, sementara itu makhluk hidup lainnya menandai bentang alam hari ini.
Isi prasasti Talang Tuo yang menjadi dasar inspirasi pagelaran itu memang sangat erat berkaitan dengan koeksistensi manusia dan alam, utamanya tentang pendirian taman Sri Ksetra sebagai pranidhana (nadzar) penguasa Sriwijaya, yang berisi berbagai macam jenis tanaman : “…pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, wuluh, dan pattum, dan sebagainya…”
Yenrizal dalam bukunya yang berjudul Lestarikan Bumi dengan Komunikasi Lingkungan (2017) memberi interpretasi menarik tentang prasasti itu. Baginya, Talang Tuo merekam peristiwa saat sang baginda Dapunta Hyang Sri Jayanasa – raja pertama Kerajaan Sriwijaya – memerintahkan penataan lingkungan yang apik dan asri karena lingkungan alam ini adalah untuk kemakmuran (semua) umat manusia, bukan segelintir orang saja, tidak hanya untuk kerabat kerajaan, atau pula untuk pemilik modal.
Di samping substansinya yang sarat akan etika manusia pada lingkungan, ada “nama-nama” penting di sekitar kajian mengenai Prasasti Talang Tuo yang cukup unik untuk dikulik lebih dalam.
Tentang Nama, Tentang Penemunya
Sebelum menelisik lebih jauh tentang petuah apa yang bisa kita peroleh, mari kita membaca informasi historis yang tak kalah penting yakni tentang nama “Talang Tuo” sendiri. Prasasti berbahasa Melayu kuno ini termasuk yang ditemukan di Asia Tenggara dan dinamakan berdasarkan tempat penemuan. Tepatnya sekitar 5 km ke arah baratlaut dari Bukit Seguntang.
Tempat tersebut berada sekitar daerah Talang Kelapa pada masa kini. Berdasarkan A Grammar and Dictionary of The Malay Language with A Preliminary Dissertation yang dipublikasi tahun 1852, “Talang” ialah kosa kata Melayu yang salah satu artinya “dukuh” (kampung). Sedangkan kata “Tuo” berarti “Tua” atau “Lama”.
Seolah usia prasasti ditulis sejak 684 M ini tergambar melalui nama wilayah di mana ia terkubur : “Talang Tuo (Kampung yang Tua)”. Apakah moyang kita sengaja menamai lokasi itu sebagai “Talang Tuo” setelah penegakan prasasti agar generasi berikutnya tidak lupa ? Ataukah nama “Talang Tuo” baru muncul setelah masa Sriwijaya ? Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut.
Keunikan lain tidak berhenti di soal nama saja karena terdapat nama seseorang yang berperan dalam menemukan kembali peninggalan sejarah itu. Prasasti yang terbuat dari batu andesit dengan tinggi 67 cm, panjang 97 cm, lebar 21 cm, dan diinventarisasi oleh Museum Nasional Indonesia bernomor D.145 itu, ditemukan oleh Residen Westenenk pada tahun 1920
Ia bernama lengkap Louis Constant Westenenk, lahir di Demak tahun 1872 dari seorang ayah yang memiliki perkebunan. Pada usia 7 tahun ia disekolahkan di Belanda dan kembali ke Indonesia setelah lulus. Dikenal pemberani sejak usia 20-an, pada usia itu ia juga lulus sebagai pegawai negeri.
Westenenk adalah seorang linguis cerdas, diplomat, pamong praja Belanda dengan karir melejit, ia pun banyak menghasilkan tulisan tentang Minangkabau antara tahun 1912-1915. Bukan hanya soal Minang, Westenenk yang memerintah tidak sampai setahun sebagai Residen Palembang juga tertarik dengan legenda Melayu kuno yang membawanya ke Bukit Seguntang, titik awal penemuannya atas Talang Tuo.
Namun sisi lain dari sosok Westenenk, ia juga dikenal sebagai seorang yang keras dalam menindak bangsa Indonesia. Sejak penugasan pertamanya sebagai Ambtenaar (Pegawai Negeri) di Borneo (sekarang Kalimantan) tahun 1896, Westenenk mengukir prestasi dengan menangkap pemimpin pemberontakan di Melawai Hulu, ia dianugerahi bintang yang sangat didambakan setiap pegawai Belanda yaitu MWO (Militaire Willems Orde) serta uang sebanyak f 5.500 gulden.
Saat kemudian ia dipindahkan ke Bukittinggi-Sumatera Barat, pecah pemberontakan akibat masalah pajak yang dikenal sebagai Perang Kamang (1908). Westenenk selaku asisten residen memimpin langsung pasukan yang mengepung Kamang dari tiga jurusan untuk memberangus perlawanan rakyat yang hanya bersenjata seadanya ; ia diganjar penghargaan Ridder Oranje Nassau oleh pemerintah kolonial. Bung Hatta sebagai pahlawan nasional berdarah Minangkabau, dalam memoarnya menyebut Westenenk sebagai “…pembesar kolonial yang terkenal pintar, tetapi dibenci masyarakat karena kelakuannya yang tidak senonoh..”.
Si Teneng – sebutan orang Indonesia masa itu untuk Westenenk – kemudian meninggal dunia pada tahun 1930.
Sri Ksetra : Antara Taman dan Benteng
Nama Sri Ksetra yang berasal dari bahasa Sansekerta mempunyai arti kurang lebih ialah “Medan / Lapangan yang Indah”, “Taman Agung”, atau “Taman Negara”. Catatan sejarah membuktikan bahwa nama itu tidak hanya terdapat dalam konteks peradaban di Palembang saja.
Apabila kita mencari nama ini dalam lingkup Asia Tenggara, tersebutlah nama Kerajaan Sri Ksetra. Kerajaan ini mempunyai kota dengan nama yang sama yang terletak 8 km tenggara kota Prome (Pyay) di Myanmar dan menjadi kota paling selatan peradaban orang Pyu. Secara antropologi, orang Pyu termasuk etnik Tibeto-Burma dari ras Mongoloid. Mereka mulai memasuki bagian hulu lembah sungai Irrawaddy sekitar 500 SM, untuk beberapa abad kemudian secara bertahap pindah dan menguasai area lembah bagian selatan sebagai pusat peradabannya.
Mengapa kita perlu mengulas Sri Ksetra sebagai sebuah peradaban dari bangsa lain dengan Sri Ksetra sebagai sebuah taman yang disebutkan dalam prasasti kerajaan Sriwijaya ? Kita perlu melihat terlebih dahulu peninggalan bangsa Pyu. Kota Sri Ksetra dibangun antara abad ke-5 hingga ke-6 Masehi, sebelum kemudian memindahkannya ke Halin sebagai ibukota bangsa Pyu sejak abad ke-7 hingga ke-8 Masehi, mereka menguasainya sampai nanti orang Burma mulai datang di abad ke-9 M. Kota Sri Ksetra berbentuk melingkar dengan luas sekitar 1400 hektar.
Tinggi dari dinding kota ini adalah 4,5 meter beserta 12 gerbang yang “dijaga” oleh arca dewa berukuran besar. Pada keempat sudutnya ditempatkan sebuah pagoda. Dari ulasan singkat ini kita mengerti bahwa “Sri Ksetra” di Myanmar ialah sebuah nama kerajaan dan kota benteng, sayangnya masih sedikit yang menjadikannya sebagai informasi tambahan saat mengulas kesejarahan Sriwijaya. Informasi tersebut diperlukan agar dapat menegaskan perbedaannya dengan “Sri Ksetra” yang disebutkan prasasti Talang Tuo dalam sejarah Indonesia.
Petuah Memajukan Peradaban
Setelah melihat spirit kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan alam, meskipun telah banyak yang mengulas, tidak ada salahnya kita kembali membaca idealisme kehidupan individu ataupun bermasyarakat yang menjadi harapan dalam Prasasti Talang Tuo :
“…Dan juga semoga semua hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka menjadi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di manapun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah…Dan jua semoga senantiasa [mereka bersikap] murah hati, taat pada peraturan, dan sabar; semoga dalam diri mereka terbit tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan.”
Nama-nama seperti “Talang Tuo”, “Westenenk”, hingga “Sri Ksetra”, semuanya dapat melengkapi keharmonisan hidup dambaan Raja Dapunta Hyang sekitar 13 abad silam. Nama “Talang Tuo” mengisyaratkan kita bahwa dalam berkontribusi memajukan peradaban, bisa dimulai dari yang terkecil yakni lingkungan sekitar rumah; makna ini diperoleh dari kata “Talang” (dukuh / kampung) sebagai kesatuan administrasi terendah dalam membentuk sebuah negeri.
Kata “Tuo” melengkapi makna itu agar kemajuan tidak malah berdampak “kepikunan” pada sejarah nenek moyang sendiri.
Kita juga masih harus menambahnya dengan mengingat L.C. Westenenk. Apa yang tak ada dalam diri Westenenk ? Ia seorang abdi negara, seorang cerdik-cendekia, dan bahkan berprestasi di bidang kemiliteran ! Tapi, apa gunanya kelebihan-kelebihan tersebut apabila seseorang masih memiliki watak kejam seperti “Si Teneng” ? Agar tidak menjadi Westenenk di masa kini, kita mesti selalu menyuburkan sifat kasih sayang universal selain dari menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Terakhir ialah tentang “Sri Ksetra”. Sejarah Indonesia mempunyai taman Sri Ksetra seperti yang tercantum dalam Prasasti Talang Tuo. Mungkin “Sri Ksetra” itu tidak seperti milik bangsa Pyu yang berbentuk kota benteng.
“Sri Ksetra” yang diwariskan pada bangsa Indonesia seperti termaktub dalam prasasti Talang Tuo yaitu kebijaksanaan memanfaatkan alam serta peniadaan eksploitasi sesama manusia. Semoga kajian sederhana ini bisa memberi manfaat dalam mengingatkan penulis secara pribadi, serta para pembaca yang budiman untuk tidak sekadar sibuk mengukirkan nama besar demi kepentingan pribadi, tetapi lupa akan misi mensejahterakan alam semesta.
Sumber :
Amran, Rusli, Cerita-cerita Lama dalam Lembaran Sejarah , Jakarta : Balai Pustaka, 1997.
Bowman, John S. (Ed.), Columbia Chronologies of Asian History and Culture , New York : Columbia University Press, 2000.
Crawfurd, John, A Grammar and Dictionary of The Malay Language with A Preliminary Dissertation , London : Smith, Elder, and Co., 1852.
Hatta, Mohammad, Untuk Negeriku : Sebuah Otobiografi (Jilid I : Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi , Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2011.
Oskandar, Dudy, “Teater Potlot Persembahkan Puyang “The Spirit of Talang Tuo”, dalam www.beritapagi.co.id 26 Juli 2018, diakses 1 Agustus 2018.
Schliesinger, Joachim, Origin of Man in Southeast Asia Vol. 3 , Bangkok : Booksmango, 2016.
Sukamto, Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara, Yogyakarta : Deepublish, 2018.
Utomo, Bambang Budi, Pengaruh Budaya India dalam Bentuk Arca di Sumatra , Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional KEMENDIKBUD, 2016.
Utomo, Bambang Budi, Treasures of Sumatra , Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2009.
Wolters, O.W., dan Craig J. Reynolds (Ed.), Early Southeast Asia Selected Essays , New York : Southeast Asia Program Publication, Cornell University, 2008.
Yenrizal, Lestarikan Bumi dengan Komunikasi Lingkungan, Yogyakarta : Deepublish, 2017.
Zainun, Nazaruddin, dan Nasha Rodzaidi Khaw, Sejarah Awal Nusantara : Cerakian Arkeologi dan Sejarah , Selangor : PTS Akademia, 2013.