Palembang, Pelita Sumsel – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Sumsel) bersama Kepolisian Daerah Sumatra Selatan (Polda Sumsel) menggelar dialog membahas urgensi perlindungan hukum profesi wartawan, Kamis (8/7) di Sekretariat PWI Sumsel, Jalan Supeno No 11 Palembang.
Acara yang diinisiasi Bidang Hukum dan Pembelaan wartawan PWI Sumsel bertajuk Ngopi COW (ngobrol pintar caro wartawan) itu dikemas secara semi virtual dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Sebelum diskusi dimulai, pengurus PWI Sumsel memberi kejutan kue ulang tahun kepada Direktur Intelijen Keamanan (Dir Intelkam) Polda Sumsel, Kombes Pol Ratno Kuncoro sebagai kado ulang tahun HUT ke-75 Bhayangkara.
Kapolda Sumsel Irjen Pol Prof Dr Eko Indra Heri S MM melalui Dir Intelkam Kombes Pol Ratno Kuncoro mengatakan tugas wartawan di tengah Pandemi Covid-19 lebih berat.
“Tak hanya profesional dan sesuai kode etik jurnalistik, tapi juga harus memperhatikan kesehatan,” kata dia.
Menurut dia, pihaknya sangat menjunjung tinggi tugas-tugas wartawan dan wajar dalam kaitan tugas jurnalistik mendapat perlindungan hukum.
“Dalam melaksanakan tugas kewartawanan mengandung risiko cukup tinggi. sehingga wartawan kerap mendapat ancaman baik secara verbal, fisik hingga penghilangan nyawa,” ujar Dir Intelkam Polda itu.
Ratno menegaskan, bahwa polisi melindungi seluruh warga negara Indonesia termasuk wartawan.
“Jangan ragu, silahkan kontak saya. Anggota saya,” tegas Ratno.
a juga menegaskan bahwa Polri melalui Kompolnas menandatangi nota kesepahaman dengan Dewan Pers untuk menguatkan Mou antara Dewan Pers dan Polri dalam upaya penegakan kebebasan pers di tanah air.
“Nota kesepahaman itu penting untuk menjaga agar kebebasan pers yang dijamin undang-undang tetap terjada untuk menjamin dan melindungi kehidupan pers yang sehat dan mencerdaskan masyarakat,” kata Dir Intelkam Polda
Ia mengatakan pihaknya menyosialisasikan nota kesepahaman tersebut hingga tingkat polres bahkan polsek.
Sementara itu Ketua Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan PWI Pusat, Octafriady SH mengatakan kekerasan terhadap wartawan hingga kini masih terjadi, tak hanya secara fisik tapi sudah menyerang secara psikis.
“Tak hanya dipukul, wartawan juga kadang diteror secara digital. Kasus doxing banyak terjadi menyasar kawan-kawan wartawan, salah satunya menyebarkan data pribadi wartawan ke media sosial tanpa izin,” kata Octaf.
Ia menegaskan, jika wartawan melakukan tugas peliputan harus profesional dan sesuai kode etik jurnalistik. “Wartawan jangan abal-abal, ngaku-ngaku wartawan tapi mau meras. Itu tidak dibenarkan,” katanya.
Octaf juga menyarankan agar wartawan bergabung dengan organisasi wartawan. “Ini penting, ketika ada permasalahan ada yang mendukung. Tak hanya PWI, ada AJI atau IJTI misalnya,” tutur Ketua Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan PWI Pusat.
Ketua PWI Sumsel Firdaus Komar menyatakan apresiasi kepada Polda Sumsel yang siap memback up wartawan di Sumsel dalam menjalan aktivitasnya.
Para wartawan dan Pemred mengemukakan terkait dengan ancaman bukan hanya fisik juga psikis. Misalnya mengirim ke link WA berupa foto dan video yang tidak layak.
Menariknya dalam acara ini dilakukan pengundian door prize untuk penanya dan peserta baik online maupun offline.
Mengapa profesi Wartawan menjadi menarik. Profesi Wartawan termasuk salah satu pekerjaan yang pada idealnya harus memiliki kemampuan dan standardisasi profesi.
Menurut Firko, standardisasi ini berkaitan dengan karya jurnalistik yang dihasilkan, karena Wartawan adalah orang yang secara berkala, melaksanakan tugas jurnalistik melakukan tahapan 6 m (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelolah dan mempublikasikan ) karya jurnalistik. Jika proses menghasilkan karya jurnalistik, tidak dilakukan demikian artinya bukan termasuk konsep Wartawan yang dikehendaki dari UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Sudah seharusnya Wartawanlah ujung tombak yang melaksanakan fungsi pers seperti yang tertera dalam UU No 40 tahun 1999 tentang pers, yaitu fungsi pendidikan, informasi, kontrol sosial, hiburan dan fungsi ekonomi.
Wartawan yang memiliki idealisme, dapat dilihat dari pendapat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.Sepuluh Elemen Jurnalisme disusun berdasarkan buku “9 Elemen Jurnalisme” dan “Blur” karya Bill Kovach & Tom Rosenstiel yang sangat dihormati di dunia jurnalisme. Diantaranya yaitu tuga sutama praktisi jurnalisme adalah memberitakan kebenaran. Kebenaran yang dimaksud bukan perdebatan filsafat atau agama, tapi kebenaran fungsional yang sehari-hari diperlukan masyarakat.
Kemudian loyalitas utama wartawan pada masyarakat, bukan pada perusahaan tempatnya bekerja, pembaca, atau pengiklan. Wartawan harus berpihak pada kepentingan umum.
Sedangkan Esensi jurnalisme adalah verifikasi, memastikan bahwa data dan fakta yang digunakan sebagai dasar penulisan bukan fiksi, bukan khayalan, tetapi berdasarkan fakta dan pernyataan narasumber di lapangan.
Kemudian wartawan harus independen, artinya tak masalah untuk menulis apapun (baik/buruk) tentang seseorang sepanjang sesuai dengan temuan/fakta yang dimilikinya. Independensi harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan.
Kembali ke peristiwa pembunuhan wartawan, dalam melaksanakan tugas jurnalistik wartawan tetap memiliki dua pilihan hati nurani yang telah memiliki kode etik jurnalistik. Pilihannya apakah mau menjadi wartawan yang benar atau sebaliknya hanya memanfaatkan atau mengkamuflasekan profesi Wartawan untuk tujuan lain. Pilihan ini semua memiliki risiko bahkan sampai dibunuh.
“Mudah mudahan dengan sharing ini, akan memperkuat saling sinergi untuk melindungan tugas profesi wartawan,” kata dia. (jea)