Jakarta, Pelita Sumsel – Meski Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI) dari daftar pembahasan RUU prioritas pada Prolegnas Tahun 2020, namun desakan dari masyarakat agar RUU PKS tetap dibahas terus menguat. Beberapa kalangan mulai dari akademisi, peneliti dan NGO ikut mendorong untuk penyempurnaan kembali draft RUU PKS tersebut agar lebih memihak pada korban kekerasan seksual.
Selama ini, peraturan perundang-undangan terkait korban dinilai masih bersifat parsial dan belum komprehensif dalam menangani kasus kekerasan seksual, serta lebih banyak berorientasi pada pemidanaan pelaku. Padahal, korbanlah yang menderita lahir dan batin, serta trauma berkepanjangan terhadap kekerasan seksual yang ia alami. RUU PKS dengan didukung oleh berbagai elemen masyarakat, diharapkan memiliki fundamental berperspektif korban, terutama terkait pemulihan korban kekerasan seksual.
“Jika RUU PKS disahkan, akan menjadi lebih penting jika muatannya lebih dari sekadar mencegah kekerasan seksual dan menindak pelaku. Namun, menetapkan fundamental RUU PKS ke dalam ranah perspektif korban. Kekerasan seksual selain ditangani dengan penegakan hukum yang tegas, juga harus disertai dengan perlindungan dan pemulihan terhadap korban, baik secara psikologi maupun kesehatan, sehingga Negara hadir dalam permasalahan nyata yang dialami korban. Hal ini yang justru lebih menopang hukum pidana dari aspek yang lebih konkret. Fokusnya kepada korban,” tegas Ketua Komisi Kejaksaan RI, Barita Simanjuntak pada Forum Diskusi Denpasar12 dengan tema Kekerasan Seksual Sebagai Tindak Pidana yang dilakukan secara virtual.
Hal senada juga diungkapkan oleh anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu yang menyatakan bahwa secara yuridis pengaturan tentang kekerasan seksual sebenarnya sudah ada di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, namun masih bersifat parsial dan belum komprehensif. Pengaturan terkait kekerasan seksual yang komprehensif setidaknya harus mengarah pada pengembalian atau perlindungan martabat kemanusiaan.
“Jika kita perhatikan di beberapa undang-undang, yakni Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Undang-Undang Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih terjadi disharmoni, karena masih ada ketidakjelasan antara pemidanaan, pemulihan, dan rehabilitasi. Selain itu, kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan parsial, namun juga dengan pendekatan integral yang diikuti dengan pendekatan kultural, moral, dan transnasional, terutama untuk melakukan upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual,” jelas Ninik Rahayu.
Pernyataan Ninik tersebut sepaham dengan Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Lucky Endarwati yang mengungkapkan bahwa norma dalam KUHP terkait tindak pidana kekerasan seksual pun masih kabur dan kosong, sementara dalam RUU PKS terdapat 6 (enam) elemen kunci terkait hukum pidana formil dan materiil atau substansinya terkait kekerasan seksual, sehingga menjadikan ruang lingkupnya ke dalam hukum pidana khusus.
“Elemen kunci tersebut yakni pencegahan kekerasan seksual, definisi kekerasan seksual dan 9 (sembilan) jenis kekerasan seksual, hukum acara pidana, pidana dan ancaman pidana, pemulihan, serta pemantauan. Selain itu, RUU PKS tidak mengabaikan aturan yang bersifat generalis pada KUHP,” tutur Lucky.
Sementara itu, Plh Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati mengatakan bahwa dalam beberapa waktu terakhir Kemen PPPA terus melakukan diskusi dan rangkaian seminar untuk mendengarkan masukan dan pandangan dari berbagai elemen masyarakat terkait RUU PKS. Kemen PPPA juga siap mengawal proses penyusunan RUU PKS.
“Dari proses diskusi tersebut, ternyata dukungan dari masyarakat terhadap RUU PKS cukup kuat dan mendorong bahwa RUU PKS merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Hal ini juga menjadi kesempatan baik untuk melakukan kajian ulang terhadap draft RUU PKS, serta melakukan konsolidasi ulang untuk menerima masukan dan dukungan. Kemen PPPA siap mengawal proses penyusunan RUU PKS dari hulu hingga hilir. Apalagi, ketika aspek penegakan hukum dianggap menjadi salah satu pilar untuk memberikan efek jera pada pelaku kekerasan seksual,” ujar Ratna.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnama Sari yang turut hadir dalam diskusi ini menegaskan bahwa RUU PKS sebenarnya sudah mengakomodir 9 (Sembilan) bentuk kekerasan seksual, diantaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Era menambahkan, untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, diharapkan adanya hukum yang sesuai, kebijakan atau sistem yang memadai untuk pencegahan kekerasan seksual, dan sistem yang memadai untuk pemulihan korban. (jea/rilis)