Oleh : Rini Tri Hadiyati, S.ST, M.Si*
Ada fenomena baru di Kota Palembang yaitu munculnya banyak pemulung yang duduk-duduk di hampir semua ruas jalan protokol. Ya, sekilas mereka tampak seperti pemulung biasa karena membawa karung besar yang entah berisi apa lengkap dengan sebuah besi panjang bermata runcing yang biasa digunakan untuk mengait barang-barang bekas. Tetapi yang agak janggal, mereka jarang terlihat sedang memulung, hanya duduk-duduk saja. Mereka berkumpul dalam kelompok kecil atau sendirian. Terkadang ada beberapa wanita dewasa, wanita dewasa dan remaja atau ibu dengan anaknya yang masih bayi/balita. Kebanyakan dari para ‘pemulung’ ini memang adalah anak-anak dan wanita.
Fenomena munculnya banyak pemulung musiman ini adalah hal yang lumrah di kota macam Jakarta menjelang lebaran. Mereka biasanya datang dari berbagai daerah, menyewa gerobak sebagai kendaraan sekaligus tempat tinggal. Karena kemana-mana bersama gerobak, mereka pun dijuluki manusia gerobak. Sekilas mereka mencitrakan diri sebagai pemulung, didukung dengan adanya barang-barang bekas di dalam gerobak-gerobak mereka. Tetapi sebetulnya mereka adalah pengemis yang berkedok sebagai pemulung. Mereka bertujuan mengumpulkan cuan secara instan dengan memanfaatkan bulan Ramadhan ketika banyak orang menjadi lebih dermawan. Disinyalir pendapatan yang mereka peroleh selama ‘beroperasi’ bisa belasan hingga puluhan juta, jika beruntung. Tetapi perlu dicatat bahwa tidak semua manusia gerobak adalah pengemis yang berkedok pemulung, ada juga diantara mereka yang memang berprofesi sebagai pemulung beneran dan sudah lama tinggal di Kota Jakarta. Pemulung tentu adalah profesi yang tidak melanggar aturan dan sebuah mata pencaharian yang halal, namun esensinya akan jauh berbeda ketika sekelompok orang memanfaatkan profesi ini untuk tujuan mengharapkan iba.
Kembali ke Kota Palembang, fenomena manusia gerobak atau ‘pemulung’ musiman menjelang lebaran bukanlah hal yang lumrah. Kalaupun ada, jumlahnya tak kentara hingga tak tertangkap pandangan mata. Maka munculnya pemulung-pemulung musiman yang kerjanya duduk-duduk di sepanjang trotoar menjadi sebuah fenomena baru. Dengan karung besar yang mereka bawa, maka mereka dijuluki sebagai manusia karung.
Manusia Karung dan Covid-19
Covid-19 memang telah menghempaskan perekonomian, PHK terjadi dimana-mana, kesempatan seakan terampas begitu saja. Maka yang tersisa adalah kemiskinan yang makin merajalela. Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah memotret pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan (Sumsel) triwulan 1 yang melambat sebesar 4,98% secara year on year. Angka ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi bulan Januari hingga Maret. Pertumbuhan positif yang masih bisa diraih Sumsel karena ekonomi belum terlalu terdampak wabah korona pada Januari hingga Februari. Barulah pada pertengahan Maret, nestapa itu dimulai. Tentu jika covid-19 tetap eksis di Indonesia termasuk Sumsel, bukan tidak mungkin angka pertumbuhan ekonomi Sumsel triwulan mendatang bernilai negatif/kontraksi.
Perlambatan atau yang lebih buruk kontraksi ekonomi menggambarkan begitu banyak kemuraman yang terjadi. Kenaikan angka pengangguran, kemiskinan dan berbagai persoalan sosial lainnya, termasuk kehadiran manusia karung ini. Mereka memang tidak menengadahkan tangan meminta belas kasihan, malah terkadang saya lihat mereka duduk membelakangi jalanan. Namun karung yang mereka bawa atau mereka letakkan di dekat mereka menjadi simbol bahwa mereka butuh uluran tangan. Wabah covid-19 yang sekarang terjadi di bulan Ramadhan memang menjadi suatu momentum yang banyak menggugah keinginan masyarakat untuk berbagi. Maka kesempatan ini dimanfaatkan pula oleh manusia-manusia karung ini untuk mendapat bantuan, mulai dari nasi bungkus untuk berbuka puasa, sembako hingga sejumlah uang. Kehadiran mereka memang memunculkan perbedaan pendapat, sebagian orang merasa resah karena menganggap mereka merusak pemandangan kota. Sebagian yang lain mungkin justru merasa kasihan terlebih mereka juga tidak melakukan apa-apa, selain duduk-duduk di trotoar terutama menjelang waktu berbuka puasa.
Manusia karung ini adalah penduduk miskin baru akibat ulah covid-19 yang sampai sekarang tak juga terlihat titik terangnya. Ada diantara mereka yang memiliki suami yang dulunya berprofesi sebagai buruh harian lepas, namun kini tak lagi ada yang membutuhkan tenaganya. Ada pula yang sebelumnya berdagang kecil-kecilan, namun kini pembeli semakin langka, untung tak diraih, yang ada malah kian buntung. Mereka kehilangan harapan, mau bekerja apa dalam kondisi ekonomi sedang terseok-seok begini, selain mengharapkan bantuan dari orang lain?
Keberadaan manusia karung biar bagaimanapun tetaplah suatu persoalan sosial yang perlu diintervensi. Terlebih dalam kondisi penyebaran virus korona ini, bisa saja mereka tertular dari pengguna jalan lain atau sebaliknya, mereka menularkan virus kepada orang di sekitarnya. Keberadaan mereka yang nyatanya hanya duduk-duduk saja, bukan untuk melakukan aktivitas ekonomi, sangat besar pertaruhannya di masa wabah ini. Selain itu bayi/balita tentu tidaklah layak berada di jalanan sepanjang hari karena berdampak sangat buruk untuk kesehatan dan tumbuh kembangnya. Mereka harus dihimbau untuk kembali ke rumah dan didata sebagai penerima bantuan apabila ternyata selama ini belum tersentuh bantuan yang ada. Semoga fenomena manusia karung ini hanyalah bersifat sementara dan ketika keadaan sudah pulih kembali, mereka dapat bekerja secara layak lagi.
Penulis Adalah ASN di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Selatan