Kritik Hakim di Media Sosial, “Contempt Of Court” Kah?

waktu baca 5 menit
Kamis, 18 Okt 2018 20:40 0 238 Redaktur Pelita Sumsel

Oleh:
Rachma Dwi Maulina
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Dewasa ini jika kita cermati, media sosial makin menjamur di dunia maya. Media sosial, sebagai sebuah produk dalam dunia maya yang tidak pernah sepi dari peminat, memiliki dampak yang besar dalam perkembangan zaman. Sebagai contohnya jikalau dahulu orang masih berkirim surat untuk berkomunikasi dengan sanak saudaranya yang jauh, di zaman ini berkirim suratpun hanya cukup dengan satu ketukan jari didepan komputer.

Perkembangan zaman memberi dampak positif dengan memberikan kemudahan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh We Are Social yang bekerjasama dengan Hootsuite, menyebutkan bahwa ada 130 juta orang Indonesia yang terbilang aktif menggunakan media sosial.

Dari jumlah yang fantastis itu dapat disimpulkan bahwa hampir dari separuh penduduk Indonesia menggunakan media sosial. Masyarakat Indonesia rata-rata menggunakan media sosial untuk berkeluh kesah, mengekspresikan kebahagiaan, berjualan secara online, dan berkomunikasi dengan teman atau sanak saudara nun jauh disana.

Namun tidak semua konten yang dipublikasikan di media sosial merupakan konten positif. Konten negatif pun kerap menjadi sorotan di media sosial, contohnya konten pornografi, konten yang berbau SARA, berita hoax, ujaran kebencian, bahkan penipuan. Dilansir dari berita yang tertera di detik.com, tercatat ada 5.061 kasus cyber crime dari data yang diperoleh dari Kepolisian Republik Indonesia pada tahun 2017, bahkan angka tersebut melampaui jumlah kejahatan cybercrime pada tahun sebelumnya.

Kapolri Tito Karnavian mengungkap bahwa terjadi peningkatan sebanyak tiga persen untuk kasus cyber crime di Indonesia dari tahun 2016 silam. “Jumlah kejahatan transnasional cyber crime naik, tahun ini sebanyak 5.061 kasus,” kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (29/12/2017).

Para pelaku cyber crime ini memanfaatkan celah dari kekurangan media sosial dan menjadikannya sebagai alat untuk melancarkan aksinya. Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya cyber crime, salah satunya adalah faktor politik.

Cyber crime yang terjadi karena faktor politik saat ini sedang marak terjadi. Karena tensi politik di Indonesia saat ini sedang memanas, tak jarang mengundang para warganet yang ‘nakal’ untuk melakukan apa saja yang bersifat menjatuhkan lawan politiknya, seperti mengujar kebencian, menyebar berita hoax, melakukan cyber bullying, atau menggunakan isu SARA untuk menghasut orang lain agar ikut membenci orang yang dijatuhkan. Ditambah dengan media yang seharusnya netral terhadap apapun situasi yang terjadi di Indonesia pada saat ini, terkadang turut menjadi ‘kompor’ sehingga memancing terjadinya perpecahan.

Ada suatu peristiwa di media sosial yang dilakukan oleh warganet untuk beramai-ramai mengkritik seorang hakim dengan cara yang tidak pantas. Hakim tersebut dibully di media sosial atas putusannya yang menuai kontroversi. Padahal sejatinya, hakim merupakan profesi hukum yang mulia yang sangat dihormati dan memiliki wibawa tinggi karena hakim merupakan ‘wakil Tuhan’ di dunia. Mengapa hakim dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia? Hakim mengemban tugas yang sangat beresiko, yakni menentukan bersalah atau tidak, bahkan hidup matinya seseorang melalui ketukan palunya.

Begitu beratnya tugas hakim, sehingga sering diibaratkan dengan satu kakinya yang menapak surga, dan satu kaki yang lain menapak neraka. Artinya, hakim harus membuat putusan yang seadil-adilnya karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang.
Namun, bisa saja gelar ‘Yang Mulia’ yang disandang oleh hakim hanya sebatas gelar belaka tanpa makna apabila seorang hakim membuat putusan yang salah dan menuai kontroversi sehingga masyarakat sampai ‘menghakimi’ hakim tersebut, dimana masyarakat bisa berspekulasi bahwa hakim tersebut telah disuap, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat pada badan peradilan di Indonesia makin menurun.

Kasus seperti itu pernah terjadi di Indonesia, kala seorang hakim bernama Parlas Nababan membuat putusan yang menuai kontroversi pada beberapa tahun silam. Hakim Parlas memvonis bebas pembakar hutan di Palembang, Sumatera Selatan. Karena putusannya yang dinilai ngaco, banyak warganet yang membuat meme untuk mengkritik Parlas Nababan. Isi dari meme tersebut adalah tidak lain untuk menjatuhkan dan menghina hakim yang bersangkutan.

Perbuatan tersebut termasuk dalam jenis perbuatan contempt of court. Apa itu contempt of court? Contempt of court merupakan perbuatan atau perkataan yang bersifat merendahkan harkat dan martabat pengadilan. Hakim merupakan aktor pengadilan yang merepresentasikan sebuah peradilan. Mengapa? Karena hakim merupakan pemimpin jalannya persidangan. Hakim memegang kuasa penuh dan mutlak dalam sebuah persidangan.
Sampai detik ini belum ada pengaturan contempt of court yang diatur secara khusus dalam undang-undang, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ada beberapa pasal yang terkait dengan pengaturan mengenai contempt of court ini, yakni pasal 207, 217 dan 224 KUHP.
Adapun perbuatan warganet yang menghina hakim Parlas Nababan lewat meme tersebut termasuk perbuatan yang melanggar pasal 207 KUHP, yakni “Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”. Artinya, perbuatan mengkritik yang bersifat menjatuhkan hakim tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.

Jenis contempt of court bukan hanya itu saja. Ada 5 jenis perbuatan contempt of court yang perlu dipahami, yakni berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan, tidak menaati perintah pengadilan, menyerang integritas dan imparsialitas pengadilan, menghalangi jalannya penyelenggaran peradilan, dan perbuatan penghinaan yang dilakukan dengan cara publikasi.

Dan teruntuk kasus hakim Parlas Nababan ini, jika dinilai menggunakan logika, termasuk ke dalam jenis perbuatan contempt of court yang kelima, yakni perbuatan penghinaan yang dilakukan dengan cara publikasi. Ujaran kebencian yang kita tulis dapat memprovokasi orang lebih banyak untuk merendahkan wibawa hakim itu sendiri, dimana hakim seharusnya merupakan profesi yang sangat dihormati.

Maka dari itu, bijaklah ketika menggunakan media sosial. Jangan karena emosi dan nafsu semata, keluh kesah yang bersifat menghina pun keluar melalui ketikan jari kita. Salah-salah, malah kita yang diburu oleh aparat yang berwenang karena ujaran kebencian yang kita tulis di laman media sosial. Mengkritik itu boleh, namun tetap dengan bahasa yang sopan karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang dipandang oleh dunia sebagai bangsa yang beradab.

Redaktur Pelita Sumsel

Media Informasi Terkini Sumatera Selatan

LAINNYA