Palembang, Pelita Sumsel – Tim Advokasi pasangan calon wali kota-wakil wali kota Yudha-Bahar meminta Bawaslu kota Palembang untuk mendiskualifikasi pasangan calon Ratu Dewa-Prima Salam (RDPS) karena diduga melanggar Undang-Undang Pilkada.
Gugatan ditujukan terhadap Bawaslu untuk meminta KPU membatalkan SK Penetapan calon wali kota dan calon wakil wali kota dari pasangan Ratu Dewa-Prima Salam (RDPS).
Hal ini disampaikan oleh tim Advokasi Yudha-Bahar yang dipimpin oleh Dr. Hendra Yospin, SH., LLM dan Dolly Reza saat konferensi pers di Palembang, Sabtu, 28 September 2024.
Menurut Tim Advokasi Yudha-Bahar, Ratu Dewa diduga telah melanggar pasal 71 ayat (2) UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, yaitu dengan melakukan mutasi jabatan di lingkungan Pemkota Palembang selama Ratu Dewa menjabat sebagai Penjabat (Pj) Wali Kota Palembang pada 17 Mei 2024.
“Dalam tahapan pendaftaran Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palembang tahun 2024, pemohon menemukan dugaan-dugaan pelanggaran terhadap syarat-syarat pencalonan dan dugaan pelanggaran lainnya yakni salah satu calon wali kota melakukan mutasi pejabat yang ada di Kota Palembang, menggunakan kewenangan, program, kegiatan, yang menguntungkan salah satu calon wali kota Palembang dan lain-lain, sehingga merugikan kami sebagai salah satu peserta Pilkada Palembang,” jelas Hendra.
Tim Yuda meminta Bawaslu Kota Palembang agar mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan rekomendasi kepada KPU Kota Palembang agar membatalkan Surat Keputusan No. 612 tentang Penetapan Ratu Dewa sebagai calon wali kota.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Ratu Dewa-Prima Salam (RDPS), menyebut laporan tersebut “Ngawur” dan justru bertentangan dengan ketentuan dalam UU Pilkada itu sendiri.
“Kami menilai Tim Yudha-Bahar terburu buru. Mereka hanya membaca UU Pilkada secara parsial, terkesan mereka membaca pasal yang sesuai dengan kebutuhan mereka saja,” kata Kurnia yang juga merupakan Direktur LBH Qisth ini.
Kurnia melanjutkan, pasal 71 dari ayat 1 sampai ayat 4 UU Pilkada memang benar seperti itu redaksinya. Tetapi inti pasal 71 ada di ayat 6, yang tidak dibaca oleh pelapor.
“Jadi kita tunggu saja pembuktianya. Sekarang kita anggap benar tuduhan itu, tapi apa iya SK RDPS bisa dibatalkan karena melanggar aturan mutasi?. Jawabannya tidak bisa,” jelasnya.
Kurnia bilang, menurut pasal 71 ayat 6 UU 10 tahun 2016, sanksi pembatalan SK Paslon oleh KPU itu berlaku apabila terbukti dilanggar oleh calon kepala daerah petahana.
“Untuk yang bukan petahana, tidak diatur dalam UU Pilkada ini. Rujukannya bisa jadi ke UU ASN, atau UU lain, yang jelas bukan di UU Pilkada,” tegasnya.
“Muncul pertanyaan, jadi siapa terlapor?. Ratu Dewa bukan petahana, atau Prima Salam, bukan juga petahana. Makanya kami sebut ngawur laporannya karena tidak jelas terlapor atau teradunya,” sambung
Ahli Termuda di Mahkamah Konstitusi ini.
Oleh karena itu, Kurnia menyebut ada baiknya tim hukum itu benar-benar paham hukum, jangan menafsirkan hukum sesuai kepentingan. Sebab, paslon dan tim punya kewajiban edukasi ke masyarakat.
“Pertarungan ide dan gagasan ciri Pilkada sehat, tapi kalau memilih jalan lain itu juga hak, tidak masalah. Yang jelas RDPS fokus pada gagasan dan problem solving, sejauh ini Pak Ratu Dewa dan Prima Salam fokus untuk memberi dan menebar kebermanfaatan untuk Kota Palembang,” tutup Kurnia.