Penguatan Partisipasi Masyarakat Sipil Pada Pemilu 2024 ; Upaya Peningkatan Kualitas Demokrasi

waktu baca 5 menit
Rabu, 15 Feb 2023 20:10 0 641 Admin Pelita

Penulis : Leti Karmila*

*Penggiat Demokrasi / Dosen Ilmu Komunikasi

 

Jika tidak ada halangan, bangsa Indonesia akan menyongsong suksesi kepemimpinan nasional pada tahun 2024. Meskipun pesta demokrasi itu masih satu tahun lagi, tapi berbagai manuver partai politik, elite, dan aktivis politik mulai menggeliat. Begitu pula dari segi teknis persiapan, para penyelenggara pemilu tentu saja sedang bekerja untuk memastikan agenda lima tahunan itu berjalan sesuai ekspektasi publik.

Pemilu yang demokratis adalah harapan kolektif semua elemen bangsa. Dalam perspektif kedaulatan rakyat, pemilu lokal maupun pemilu nasional adalah wahana untuk memilih pemimpin yang kelak mengurus hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, proyeksi pemilu yang aman, damai, dan demokratis, perlu menjadi atensi bersama segenap pemangku kepentingan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi garda utama dalam penyelenggaraan dan pengawasan pemilu. Pihak penegak hukum dan keamanan memiliki obligasi untuk menjamin ketertiban agar pemilu berada dalam koridor demokrasi. Di sisi lain, keterlibatan masyarakat sipil dalam mengawal pemilu juga tak bisa diabaikan.

Peran Masyarakat Sipil

Guru Bangsa Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa masyarakat sipil (civil society) adalah “rumah” persemaian demokrasi. Artinya, demokrasi tidak hanya berkaitan dengan perkara pemilu yang bersifat prosedural, tapi juga butuh persemaian dalam “rumah”, yaitu masyarakat sipil.

Dalam konteks ini, masyarakat sipil adalah mitra negara dalam proses transformasi politik, agar sekiranya menekan tombol akar rumput untuk berpartisipasi dalam merawat dan mewujudkan pendalaman demokrasi (deepening democracy). Esensinya, masyarakat sipil berlaku sebagai jembatan antara negara dengan masyarakat.

Kategorisasi masyarakat sipil tergambar dalam eksistensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ormas, asosiasi profesi, paguyuban, komunitas budayawan, forum keagamaan, jaringan buruh, pedagang dan sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut bergerak atas kehendak bersama, sehingga negara tidak terlampau hegemonik, dan masyarakat pun tidak terlalu liar. Semuanya bergulat dalam simfoni yang indah dan harmonis.

Itulah sebabnya intelektual terkemuka seperti Antonio Gramsci mendefinisikan negara sebagai masyarakat politik ditambah masyarakat sipil – “the state should be understood not only as the apparatus of the government, but also ths private apparatus of Civil Society” (negara tidak harus dipahami hanya sebagai lembaga pemerintahan, tetapi juga sebagai lembaga masyarakat sipil). Jadi, negara dan masyarakat sipil harus bersenyawa.

Dalam situasi mutakhir, kita tengah melintasi badai pandemi, transisi menuju endemi. Berdasarkan pengalaman pilkada serentak 2020 lalu, penyelenggaraan suksesi kepemimpinan lokal itu berjalan aman, kendati ada riak-riak kecil, namun tidak sampai memicu krisis yang fundamental. Ke depan, konser demokrasi akan bergelayut dalam pemilihan capres maupun caleg, disusul calon kepala daerah 2024 dalam kondisi yang bisa dikatakan normal sepenuhnya.

Dengan demikian, partisipasi politik masyarakat dalam mewujudkan pileg maupun pilpres yang konstitusional dan demokratis mestinya lebih gemilang lagi. Kontestasi demokrasi yang sukses tanpa pertumpahan darah. Para elite lintas parpol menunjukkan keteladanan dan etika moral yang luhur. Begitu pula relasi antar pendukung menghadirkan komunikasi yang rasional, bukan emosional, terlebih di media sosial.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil, baik secara konseptual maupun praksis. Secara praktis, muaranya adalah partisipasi masyarakat sipil, baik partisipasi formal maupun partisipasi informal. Partisipasi formal merujuk pada penggiat kepemiluan yang punya legalitas-formal sebagai pengawal kontestasi elektoral yang bermitra dengan KPU dan Bawaslu. Sementara itu, partisipasi informal terlibat dalam diskursus publik dan isu-isu kewargaan. Kiprah organisasi dan komunitas yang melek politik, lalu melibati diri dalam wacana kebangsaan adalah bagian dari partisipasi informal itu.

Mereka terjun dalam kancah kepemiluan sebagai pemantau independen, bahkan kritis. Dalam mengawasi agenda pemilu, mereka concern dalam mengawal jalannya pelaksanaan pemilihan. Bila ada kecurangan, mereka melapor dan mengadvokasi. Artinya, keberadaan mereka mesti diberdayakan dalam kerangka kemitraan strategis.

Partisipasi masyarakat sipil bisa juga diaktualisasikan melalui kekuatan narasi di media massa, pernyataan sikap yang disiarkan lewat pers, kampanye pemilu damai di berbagai kanal media sosial. Saat yang sama, mereka dapat melaporkan penyimpangan yang mungkin saja terjadi dalam kontestasi demokrasi. Mereka itulah yang menjadi sukma dan roh kekuatan sipil. Begitu pula mengenai saran dan usulan kepada KPU maupun Bawaslu agar penyelenggaraan pemilu berpijak sesuai koridor yang berlaku.

Menjelang pemilu 2024, tantangan dan kompleksitas persoalan tentu tak bisa dipungkiri. Kalau diurut secara garis besar, persoalan itu terbentang mulai dari politik uang (money politics), isu netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), hingga hoaks yang mengacaukan nalar publik. Disinilah relevansi kehadiran masyarakat sipil guna mengarus-utamakan narasi politik yang mencerahkan, bukan yang berbau disinformasi, ujaran kebencian, apalagi provokatif.

Kalau penyelenggara pemilu dan masyarakat sipil bersinergi secara konstruktif, maka kualitas demokrasi akan terwujud. Penyelenggara harus menjamin bahwa pelayanan untuk semua kontestan politik berlaku fair dan obyektif sesuai prosedur yang berlaku, serta non-diskriminatif. Selanjutnya, masyarakat sipil mengawal proses demokrasi guna menciptakan keseimbangan.

Tertib administrasi maupun substansi pelayanan ditegakkan secara profesional. Kalau ada kontestan yang menabrak aturan, jangan ragu menindak tegas tanpa pandang bulu. Silakan pula aktivis masyarakat sipil untuk memberikan kritikan kepada segenap pemangku kepentingan elektoral. Akan tetapi, kritik mestilah dibingkai dengan dasar yang jelas, bukti yang nyata disertai argumentasi yang artikulatif.

Kerja-kerja politik partisipatoris lazimnya berbanding lurus dengan substansialisasi demokrasi. Outputnya, terbukanya akses secara terbuka dan inklusif bagi semua warga negara tanpa kecuali. Untuk agenda jangka panjang, masyarakat sipil seyogianya melakukan sosialisasi, edukasi publik, kontrol sosial dan pemberdayaan masyarakat demokratik. Harapannya agar partisipasi publik meningkat, dan masyarakat kian aktif penuh gegap gempita sebagai bagian dari parameter kesuksesan pemilu.

 

LAINNYA