Palembang, Pelita Sumsel – Tim Juru Bicara G20, Maudy Ayunda mengatakan pentingnya isu kebudayaan dibahas dalam ajang G20 karena ada banyak local wisdom dari berbagai negara yang bisa didiskusikan dan menjadi kekayaan bersama dalam menghadapi krisis iklim.
Selain itu, Maudy mengajak anak muda untuk mengenal lebih bayak lagi terkait kearifan lokal kita, sebab ada banyak kebudayaan lokal yang sebenarnya bisa diadopsi untuk menjaga kelestarian bumi dari ancaman perubahan iklim.
“Generasi muda sekarang sangat awareness dengan krisis iklim. Tetapi bagaimana menghubungkan itu dengan aspek kebudayaan. Makanya saya mengajak anak muda untuk menggunakan keingintahuan kita mengenal lebih dalam lagi kearifan lokal ini karena ada banyak kearifan lokal yang bisa diandalkan untuk mengatasi perubahan iklim.” ucapnya dalam diskusi Kebudaaan untuk Bumi Lestari yang digelar Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Kamis (11/8).
Ia menerangkan bahwa Indonesia sudah melakukan banyak terobosan berskala global untuk bersama sama memulihkan kondisi pasca pandemi, salah satunya inisiasi agenda pemulihan global melalui aksi gotong rotong dengan jalan kebudayaan untuk hidup yang berkelanjutan.
Kata dia, ke depan kebutuhan untuk membiayai perubahan iklim kian besar. Kendaraan bermotor menyumbang 70 persen atas pencemaran senyawa berbahaya yang menyebabkan polusi udara, polusi juga terjadi pada makanan.
Kemudian, World bank memperkirakan manusia membuang lebih dari dua milliar ton sampah per tahun. “Jadi bayangkan teman-teman semakin besar lagi kebutuhan gaya hidup yang berkelanjutan untuk menyelamatkan bumi dan lingkungan yang alami banyak kerusakan karena aksi manusia.” ucap Maudy.
Atasi Krisis Iklim Melalui Kebudayaan
Salah satu cara yang paling tepat untuk mengatasi krisis itu ialah melalui kebudayaan. Ada banyak kebudayaan masa lalu yang bisa dipelajari dan sekarang hidup. Ada kearifan lokal seperti sistem irigasi subak di Bali, Nyabuk Gunung praktik bercocok tanam di Jawa yang sebenarnya untuk konservasi lahan jadiya.
“Kalau dibayangkan Indonesia ini archipelago banyak sekali culture, kebayang kekayaan dengan kebudayaan-kebudayaan ini,”ucapnya.
Kebudayaan yang dimaksudkan ialah perspektif yang turun temurun, mengembalikan ke aslinya, local wisdom. Ada juga dalam konsep resicle economy yakni mengambil secukupnya dan mengembalikan ke bumi sisanya.
Kendala saat ini lanjut Maudy ialah bagaimana menghubungkan kebudayaan atau kearifan lokal dengan anak muda, sebab anak generasi milenial saat ini sudah sangat sadar dengan ancaman perubahan iklim hanya bagaimana menyambungkannya dengan kearifan lokal.
“Mungkin dengan upaya kelembagaan seperti adanya sanggar sanggar anak muda bisa masuk ke kearifan lokal itu. Sebab, apabila masuk dengan kebudayaan yang saklek makanya ga akan bisa kena, makanya harus dieksplore,” tuturnya.
Dalam mempromosikan kebudayaan Indonesia di luar negeri. Maudy mengaku melakukannya tidak dengan budaya yang saklek, tetapi dieksplore.
“Saya memasak rendang, mengundang teman teman, saya juga menggunakan kebaya saat wisuda,” ucapnya