WCC Palembang Desak RUU-PKS Segera Disahkan

waktu baca 3 menit
Rabu, 25 Nov 2020 14:37 0 170 Admin Pelita

Palembang, Pelita Sumsel – Setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempun Sedunia. Pada peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2020 ini, kembali WCC Palembang menyoroti pentingnya payung hukum bagi penanganan kasus kekerasan seksual. Di Provinsi Sumatera Selatan, khususnya di Kota Palembang dirasakan sangat penting adanya payung hukum yang melindungi perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif WCC Palembang Yeni Roslaini (Rabu (25/11).

Menurutnya, dari 96 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani WCC Palembang pada Januari-Oktober 2020, 45.1% nya atau sebanyak 47 kasus adalah kasus kekerasan seksual.

“Mereka yang mengalami kekerasan seksual, juga mengalami satu atau lebih kekerasan lainnya, terutama psikis, fisik, atau ekonomi. Kekerasan seksual yang bermuara dari adanya ketimpangan relasi gender, terus bertahan kuat karena berlakunya penilaian moralitas yang cenderung mempersalahkan dan menstigma korban,” ujarnya.

Yeni juga menambahkan WCC Palembang juga menerima pengaduan yang cukup tinggi terkait Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau Cyber Crime pada masa Pandemi ini (Januari-Oktober 2020) yaitu 27 kasus dibandingkan dengan tahun 2020 (Januari-Desember) sebanyak 8 kasus. KBGO yang terjadi juga sebagian besar berkaitan dengan kekerasan seksual.

“Hingga saat ini hak-hak korban kekerasan seksual belum sepenuhnya terlindungi, terutama hak atas keadilan dan pemulihan. Terbatasnya tindakan kejahatan seksual yang dikenali oleh KUHP dan sistem pembuktian yang tidak peka pada kondisi korban, menyebabkan sebagian besar pelaku kejahatan seksual bebas dari jeratan hukum. Selain itu belum adanya regulasi yang secara khusus menjamin dilaksanakannya pemulihan bagi korban kekerasan seksual menyebabkan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual hanya berfokus pada penghukuman pelaku dan mengabaikan aspek pemulihan korban. Padahal, dampak dari tindakan kekerasan seksual tidak saja terhadap fisik, psikis dan organ/fungsi seksual korban, tapi juga terhadap keberlangsungan kehidupan korban dan keluarganya,” jelas Direktur Eksekutif WCC ini.

Sementara itu, Koordinator Program WCC Palembang Yessy Ariyani mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) hingga saat ini ditunda pembahasannya, sehingga tidak ada payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual, padahal tingginya data yang dihimpun oleh Organisasi Pengada Layanan di Indonesia (salah satunya WCC Palembang) dan banyaknya pemberitaan terkait kekerasan seksual yang terjadi diberbagai wilayah di Indonesia bisa disimpulkan bahwa situasi dan kondisi Indonesia saat ini berada dalam kondisi Darurat Kekerasan Seksual.

“RUU P-KS merupakan upaya negara (pemerintah) untuk segera melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual. Apabila RUU P-KS tidak kunjung dibahas dan disahkan maka membuktikan bahwa negara (pemerintah) tidak peduli pada penderitaan yang dialami oleh warga negaranya,” Kata Yessy.

Ia mengatakan bahwa negara (pemerintah) telah melanggar hak konstitusi perempuan dan anak sebagai warga negara yang dijamin dalam Undang-Undang. Negara (pemerintah) tidak menjalankan kewajibannya untuk menjamin HAM korban sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan sebagai kewajiban negara yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Untuk itu, Women’s Crisis Centre (WCC) Palembang mendesak agar DPR RI memastikan bahwa RUU P-KS menjadi RUU Prolegnas Prioritas 2021 tanpa penundaan lagi. WCC juga mendesak agar pemerintah melakukan langkah-langkah proaktif untuk mendukung pembahasan RUU P-KS di DPR RI serta mengajak masyarakat sipil mengawal pembahasan RUU-PKS pada prolegnas 2021.

“Mari bergerak bersama untuk hentikan kekerasan terhadap perempuan. Hentikan kekerasan seksual, pulihkan korban, dukung penghukuman yang bermartabat,” pungkas Yeni. (jea)

LAINNYA