Oleh: Dudy Oskandar
Jurnalis dan Peminat Sejarah Sumatera Selatan
Situasi di Palembang mengalami naik turun setelah kejatuhan Kerajaan Sriwijaya. Sementara pada abad ke-14 dan ke-15 kekuatan Sriwijaya ke Kerajaan pedalaman Minangkabau dan ke Melaka yang terletak di pesisir Palembang muncul kembali dalam wujud Kesultanan Islam di bawah pengaruh Jawa, dan kondisi perekonomiannya kembali bangkit pada abad ke 16 berkat pengiriman hasil panen lada oleh petani lada Minangkabau ke pasar Palembang melalui Sungai Musi.
Hal itu berhasil menarik perhatian pembeli lada dari Cina, Partugis, Belanda, dan lnggris. Seperti kerajaan-kerajaan lain, Palembang turut menderita akibat hegemoni perdagangan Perusahaan Dagang Hindia Timur (V0C) sejak 1620. V0C menandatangani perjanjian mengenai manopoli ekspor lada.
Di Palembang pada 1642, tetapi tidak berbuat banyak untuk menegakkan perjanjian tersebut sampai 1655. Hubungan kedua pihak memburuk arena Cornelius Ockersz menawan kapal-kapal pesaing di Palembang dan memperlakukan pemerintah setempat dengan tidak hormat. Pada Agustus 1653, Ockerz dan 40 orang anak buahnya terbunuh ketika meninggalkan Palembang, sedangkan orang-orang Belanda yang tersisa dipenjara dan di Islamkan .
Pembalasan dari pihak Belanda diceritakan oleh Johan Nieuhof (1618-1672) yang ikut dalam ekspedisi ke Palembang tidak lama setelah tiba di Batavia dalam rangka kontrak kerja keduanya dengan VOC.
Sebelumnya dia berkerja untuk Perusahaan Dagang Hindia Barat di Brazil pada 1640-1649, dan VOC di Asia pada 1653-1658. Keahlian sebagai seorang seniman menjadi alasan Nieuhof diikutsertakan ke dalam rombongan perwakilan pertama Belanda ke kekaisaran Cina, pada 1655-1657.
Catatan perjalanan ini yang diterbitkan dalam berbagai bahasa, 10 tahun kemudian, membuat Nieuhof terkenal. Setelah kematian Nieuhof, saudaranya, Hendrik, memanfaatkan ketenaran tersebut dengan menerbitkan catatan perjalanan Nieuhof ke Hindia Timur dan Barat pada 1682, dengan sebelumnya menambahkan bahan-bahan dari sumber lain serta membumbui tulisan asli dengan detil-detil ’eksotis’ yang tidak pada tempatnya, seperti keberadaan unta dan istana bergaya Eropa dalam ilustrasi Palembang yang dibuat ulang di sini.
Namun tulisan ini walaupun di buat dari persepsi pihak VOC namun bisa di simak bagaimana jalannya perang Palembang dan penghancuran Benteng Kuto Gawang yang kala itu , Raja Palembangnya adalah Pangeran Sido ing Rejek bergelar Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat VI.
Pangeran Sido Ing Rejek adalah Raja Palembang (ke-XI) yang menggantikan ayahnya yaitu Pangeran Sido Ing Pasarean pada tahun 1653-1659 M. Beliau dikenal sebagairaja yang alim dan wara.
Pada masanya ini terjadilah pertempuran pertama dengan Belanda pada tahun 1659 yang mengakibatkan Keraton Kuto Gawang hancur serta habis, hangus terbakar. setelah itu beliau mengasingkan diri ke desa Sakatiga dan menjadi sultan di Indralaya tahun 1659-1691 M.
Walaupun demikian melalui tulisan ini kita tahu bagaimana situasi dan gambaran Palembang saat itu hingga persengkongkolan elit bangsawan Jambi yang mendukung penyerangan Palembang terutama penghancuran Benteng Kuto Gawang oleh VOC.
Beberapa tahun yang lalu, salah satu kota terpenting di Sumatera yakni Palimbang atau Palembang yang terletak dekat pesisir bagian barat Sumatera. dibumihanguskan oleh seorang laksamana sekaligus Jenderal Belanda. John Vander Laen, pada 24 November 1659 karena sekitar dua tahun sebelumnya penduduk setempat membunuh seluruh awak kapal Belanda.
Jakkatra dan Watchman; dan setahun kemudian membunuh lagi dua orang Belanda yang saat itu diutus ke darat oleh kapal perang Niccoport dan Leerdam (yang baru datang dari Texel) untuk menjadi penerjemah; kepala keduanya ditancapkan ke ujung tombak atas perintah orang Kay [orangkaya] lalu sengaja dipertontonkan kepada rekan-rekan mereka di kapal.
Untuk membalas perbuatan keji tersebut sebelas armada kapal.‘ diberangkatkan dari Batavia pada 19 Oktober 1659 di bawah komandan Laksamana ohn Vander Laen beserta wakilnya John Truytsman; armada tersebut terdiri dari kapal inti bernama Orange, Postilion, Molucco, Armd of Batavia. dan Charles; tiga kapal galiung. yaitu Appelboom, hour- glass dan Hammehiel; serta tiga kapal lainnya, Crab, Tronk dan Flying Dear, dilengkapi dengan 600 pelaut dan 700 prajurit darat. Mereka tiba pada 30 Oktober 1659 di Sungai Palimbang tanpa mengalami gangguan berarti selama perjalanan.
Belanda menghabiskan waktu selama dua hari, yakni 3 dan 4 November 1659, untuk memasuki sungai, dan pada malam hari 9 November 1659) , kami diserang secara tiba-tiba oleh penduduk Palembang. Peristiwa tersebut mengakibatkan empat atau lima prajurit terluka karena para komand kurang sigap dalam mengantisipasi serangan. Pada 10 November 265 kami tiba di antara Pulau Cambara dan pantai seberang, dari sana Kota Palembang bisa terlihat, dan kami menemukan tiga benteng milik musuh yang pertama bernama Bamagangan, terletak di titik bagian barat sungai di Pulau Cambara, sementara dua benteng lain terletak di titik bagian timur sungai dengan posisi sailng berhadapan, namanya Mathapouro dan Menapoura.
Pada kemunculan pertama kami musuh tetap bertahan ditempat, hal ini memberi keuntungan bagi kami untuk melakukan penetrasi ke hulu sungai.
Namun, rupanya ada beberapa rumah kayu berisi benda-benda mudah terbakar dibangun di atas gelondongan-gelondongan kayu berukuran besar yang terapung di atas sungai. Kapten Jurian Paulson diutus untuk melihat rumah-rumah itu dengan membawa serta kapal hour glass dan beberapa perahu lainnya. Dia iuga diperintahkan untuk memotong tali-tali gelondongan itu lalu menyulutnya dengan api, dan dia berhasil melaksanakan perintah dengan baik. Kemudian, seluruh armada bergerak maju untuk menyerang Benteng Bamagangan.
Namun, begitu mememasuki jarak tembak meriam dari benteng tersebut, musuh langsung menyambut dengan tembakan meriam dari dua benteng yang ada di titik barat dan timur.
Walaupun demikian, kami tidak mengalami ngian berarti sehingga kami cukup berani untuk menembaki Benteng Bamagangan. Kami berhasil membakar gudang mesiu sehingga sebagian besar bangunan benteng meledak, berikut rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Setelah itu, kapal Bioemendahl, Koukerk, dan Cat diperintahkan antuk membuang sauh dalam jarak tembak dari arah pantai untuk kemudian menembaki musuh, baik dari jarak jauh maupun dekat.
Akhirnya kami berhasil mendarat dan menguasai Benteng Bamagangan. Di sana kami menemukan 22 meriam dari besi dan kuningan yang langsung kami Arahkan ke musuh yang ada di darat, dan kami bertempur sepanjang malam. Hal itu tidak dapat dicegah karena tidak lama kemudian musuh menyerang kami dengan harapan bisa merebut kembali benteng tersebut. Namun, kami berhasil memukul mundur mereka dan hanya kehilangan satu prajurit. Kemudian, musuh mengirimkan empat atau lima mesin api, berupa rumah-rumah kayu berisi benda-benda yang mudah terbakar yang dibangun diatas gelondongan-gelondongan kayu; ukuran benda yang sangat besar itu memenuhi hampir seluruh badan sungai.
Kapal Bloemendahl, Koukerk, Cat membutuhkan waktu lama untuk dapat menghindari serangan musuh, karena mereka harus terlebih dulu memutus tali-tali di gelondongan tersebut. Bagian depan kapal Molucco sempat terbakar, walaupun akhirnya berhasil diselamatkan kapal-kapal yang menemaninya tanpa mengalami kerusakan berarti.
Mesin-mesin api tersebut terbawa arus sungai dan lenyap menjadi asap. Dalam pertempuran memperebutkan benteng, sebanyak 30 orang jawa terbunuh, di antaranya Quevy tommagen nadapen radia [Kiai Temenggong Dihadapan Raja] beserta dua puteranya, yang dimakamkan keesokan harinya.
Pada pagi hari 11 November 1659, kami menyerang dan berhasil mengambil alih Benteng Mathapoura. Di sana kami hanya menemukan empat unit meriam, sementara empat meriam yang lain telah dibuang musuh ke sungai. tetapi kami mcngambilnya kembali. Sisa hari itu kami habisla dengan mengapalkan persediaan senjata maupun amunisi yang berhasil kami dapat sore harinya, delapan pasukan berhasil mendarat di Pulau Cambara untuk menyerang benteng di sana tetapi tempat telah ditinggalkan oleh musuh yang rupanya bermental pengecut , sini kami menemukan 12 unit meriam yang sebagian sempat dibuang di rawa-rawa tetapi awak kami berhasil menyelamatkan meriam tersebut.
Kemudian. kami membawa meriam-meriam ke kapal dengan sejumlah kecil amunisi. Rupanya kegiatan kami dipantau dari garnizun di Palembang, dan musuh berhasil membakar kapal Watchman.
Malam harinya, orang-orang yang sempat meninggalkan Benteng Cambara menyerang tiga kali di bawah guyuran hujan lebat demi merebut kembali benteng itu.
Dalam pertempuran tersebut, kami kehilangan dua orang dan enam orang terluka sehingga kami terpaksa harus bersiaga sepanjang malam.
Kami menghabiskan waktu selama dua hari, 12 dan 13 November 1659, untuk memasukkan seluruh meriam dan amunisi yang berhasil kami ambil di ketiga benteng ke kapal. Dewan perang kemudian memutuskan untuk segera menyerang kampung orang Cina dan menguasai kota sebelum musuh dapat pulih dari ketakutan akibat kehilangan benteng-benteng mereka.
Ketika melewati kota, kami menerima sambutan yang sebagaimana yang kami alami di benteng, tetapi kami tidak mengalami kerusakan atau pun kehilangan salah satu kapal kami.
Kota Palembang dibentengi oleh batang-batang pohon besar dirapatkan, dan banyak meriam besar ditempatkan di sekitarnya sehingga mustahil kota ini bisa diambilalih hanya dengan menggunakan pasukan kecil, ditambah lagi dengan adanya parit yang dalam dan berlumpur.
Kami kesulitan mencari tempat mendarat, hingga akhirnya laksamana kami melihat ada anak sungai di balik titik terjauh benteng pertahanan tersebut.
Anak sungai tersebut mengarah ke tempat yang sangat aman dari tembakan musuh. Kami mendarat dengan seluruh pasukan. dengan gagah berani kami bergerak kesarang musuh. Kami melemparkan granat ke arah kota yang kemudian menyebabkan rumah-rumah berdempetan terbakar, musuh menjadi ketakutan dan meninggalkan tempat mereka.
Hal ini dimanfaatkan oleh Laksamana Vander Laen, Mr Truytsman dan Kapten Harman untuk menerobos pertahanan kota lewat tiga jalur berbeda.
Di sana, mereka mendapat perawatan sengit penduduk lokal, yang sesuai dengan tradisi setempat, “amuk”. Menyerang ketiganya dengan gagah berani. Penduduk lukal berhasil membunuh orang pasukan kami, di antaranya adalah seorang Letnan, seorang Letnan Muda dan seorang sersan, tapi mereka sendiri tidak mengalami banyak kehilangan.
Hujan deras malam itu memaksa Laksamana Belanda untuk membawa kembali pasukannya kekapal tetapi esok paginya mereka kembali mendarat dan memasuki kota lewat titik yang sama. Beberapa pertempuran yang tanpa hasil terjadi , sampai akhirnya penduduk lokal berhasil dipaksa meninggalkan kota dan mundur ke kampung-kampung.
Benda pertama yang dikorbankan ke kobaran api adalah bangunan istana setelah seluruh isinya dipindahkan keluar terlebih dulu. Ada pula sejumlah besar artileri yang ditinggalkan oleh raja dan para pengikutnya yang bernyali kecil. sebelumnya mereka sempat memberikan perlawanan dan bertarung satu lawansatu, tetapi setelah Laksamana Vander Laen berhasil membunuh dua pemimpin mereka, atau para Quey Nabey [Kiai Ngabehi], mereka langsung ciut dan lari tunggang langgang demi menyelamatkan diri. Patut dicatat bahwa orang-orang Hindia ini sangat mendewakan meriam-meriam besar mereka; kami menemukan bagaimana meriam-meriam gersebut dilapisi kain merah tua dan rambutan, serta diberi wewangian yang menyengat, sampai-sampai wangi tersebut berbekas lama di tangan kami.
Setelah seluruh meriam dan artileri dibawa keluar dari kota dan benteng, laksamana memerintahkan untuk membumihanguskan benteng- benteng dan rumah-rumah yang bersebelahan dengan benteng. Kami menemukan 15 dari 21 prajurit kami yang dijadikan tawanan di penjara yang terletak di kedua sisi istana; mereka dibunuh dengan keji dan tubuh mereka dikoyak-koyak oleh orang-orang barbar itu. Salahsatu dari mereka yang selamat adalah Jacob de Groot, seorang anak muda Belanda yang kebetulan tidak dirantai dan berhasil melarikan diri pada saat yang tepat, sedangkan enam orang lainnya dibawa lari oleh mereka. Sebagai pembalasan atas tindakan kejam tersebut, kami membumihanguskan seisi kota pada 16 November 1659, setelah sebelumnya membawa meriam dan hasil jarahan ke kapal.
Di waktu yang hampir bersamaan, musuh mengirimkan satu mesin api berukuran sangat besar ke sungai, berupa 20 rumah kayu yang didirikan di atas gelondongan-gelondongan kayu dengan panjang yang hampir memenuhi kedua sisi sungai.
Namun, begitu melihat keberadaan mesin tersehut, Belanda langsung mengirimkan kapal-kapal panjang dengan banyak awak untuk melindungi kapal-kapal kami yang lain. Setelah berhasil melewati mesin api tersebut, kami membakar mesin itu dalam jarak pandang musuh, yang kemudian tak hanya membakar habis mesin tersebut melainkan juga rumah-rumah yang terletak di pinggir sungai.
Pada 17 dan 18 November 1659. orang-orang kami masih sibuk memuat hasil jarahan, senjata, dan meriam ke kapal, dan pada 23 November 1659 seluruh armada kami menyelenggarakan pesta syukuran untuk merayakan keberhasilan lni.
Pada 25 November 1659, kapal kami terus bergerak ke arah hulu, dan kadang-kadang melihat tiga atau empat perahu angkut untuk keperluan kapal feri serta beberapa rumah yang dibangun di atas gelondongan kayu yang terapung. Perahu-perahu tersebut tidak dapat diambil karena berada diluar jangkauan kami, apalagi letaknya terlindung.
Dianak sungai dibalik semak-semak, kami membakar rumah-rumah tersebut lalu kembali pada 26 November 1659 kedepan benteng, tempat kami menaruh jangkar sampai hari berikutnya.
Sementara itu direktur Belanda di Jambi Peter de Goyer mengirimkan kapal Tronk yang berangkat pada l 1 November 1659 dengan membawa 75 ekor ayam jantan. 100 ekor anak ayam betina, 5 ekor kambing. Untuk keperluan Mr. John Vander Laen dan komandan-komandan lainnya.
Hanya itu yang bisa didapatkan karena bahan makanan jumlahnya sangat sedikit pada saat itu. antara disebabkan oleh Pangeran Indragiri dan Raja Muda Johor menetap di lokasi ini sejak tiga bulan yang lalu dengan membawa 2000 orang pengikut. Beberapa waktu yang lalu pula, banyak sapi dan ungags disembelih untuk kepentingan pesta perkawinan putra sang raja yang menikag dengan Patuan Muda.
Tidak lama kemudian laksamana dan Kapten Truytsman menerima jawabab dari Pengeran Jambi atas surat mereka yang tertanggal 20 November 1659 yang turut melampirkan surat dari Mr. Peter Boyer tertanggal 26 November 1959.
Setelah diterjemahkan dari bahasa Melayu bunyinya adalah sebagai berikut :
Surat ini dikirimkan dengan tulus, oleh Pengeran Jambi kepada komandan John Vander Lae dan Daman Sittia Bauwa (maksudnya Kapten Truytsman) , orang-orang yang terkenal lewat kebijaksanaan dan keberaniannya.
Pangeran sudah mengetahui bahwa Mr. John Maetzuicker, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Timur telah mengirimkan 18 kapal ke Palembang dan merasa perlu untuk menyatakan bahwa beliau menyetujui tindakan Mr. John Maetzuicker, tanpa terkecuali selama Mr John Vander Laen dan Daman Sittia Bauwa memenuhl janji-janji yang sebelumnya diberikan kepada Pangeran.
Sesuai dengan keputusan yang dibuat setelah setelah menerima surat ini. Pangaran telah mengutus Zitta Antacca bersama sejumlah prajurit untuk memerangi penduduk Palembang .
Pangeran juga mengingatkan dan meminta John Vander Lae dan Daman Sittia Bauwa untuk senantiasa berhati-hati, karena pihak Palembang berada sangat dekat. Inilah titah pangeran kepada John Vander Lae dan Danab Sittia Bauwa untuk saat ini.
Pada 27 November 1659. semua rumah yang masih berdiri tegak di sekitar Benteng Mansapoura dibakar berserta banteng itu sediri b, atas perintah khusus daro laksamana.
Pada hari yang sama pula kami mengangkuti sejumlah besar perlengkapan mikiter kelunr dari rawa-rawa Pulau Cambara.
Kami sadar bahwa Pangeran Palembang tidak akan mengirimkan perwakilan atau pun memberikan jawaban atas surat kami tertanggal 20 November 1659 entah karenma keras kepala atau memang sudah putus asa, sehingga kami memutuskan untuk meninggalkan sungai.
Kami berlayar kembali ke cabang sungal yang disebut Banjarmassum untuk membakar semua rumah dan perkebunan yang kami temui.
Kami menghabiskan lima haru berlayar, hingga akhirnya tiba di sungai tersebut tanggal 3 Desember 1959. Dimulut sungai kami bertemu dengan kapan orange yang kemudian bergabung dengan kami. Kami melanjutkan perjalanan pada 4 Desember 1659 dan tiba bersama seluruh armada dan pasukan pada sore hari 9 Desember 1659, di jalanan Batavia. Hasil jarahan kami mencakup 55 unit meriama besar dan 142 unit meriam ukuran kecil.
Beberapa di antaranya terbuat dari besi, kami tidak menemukan lada di sini, tetapi kami menemukan persediaaan beras dan padi dalam jumlah banyak yang semuanya habis dilalap api berikut banyak kapal kecil diantaranya perahu-perahu rekreasi milik raja. Berikut perahu tersebut dibawa oleh orang-orang kami sebagai kenang-kenangan atas peristiwa itu.
Sumber: Johan Nieuhof, (1682), Voyages and Travels to the East Indies 1653-1670 , dicetak ulang oleh Singapura: Oxford University Press, 1986 hlm 186-189