Palembang, Pelita Sumsel – Seiring dengan besarnya potensi sumber daya energi yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera Selatan, aktivitas pertambangan di daerah ini berlangsung demikian pesat. Dengan dalih pengelolaan sumber daya alam demi kemakmuran rakyat dan pembangunan, kegiatan penambangan tersebut pun kian ekspansif dari tahun ke tahunnya. Ironinya, pesatnya aktivitas pertambangan tersebut belum diikuti dengan sistem pengawasan yang kuat dan komprehensif. Akibatnya, aktivitas pertambangan yang berlangsung selama ini masih diwarnai sejumlah masalah baik dari segi tata kelola penambangan yang baik, akuntabilitas, ataupun wawasan lingkungannya.
“Kita tahu Sumsel itu sangat kaya sumber daya energi mulai dari batubara, gas bumi, minyak bumi, panas bumi, gas metan, hingga mineral logam. Kegiatan pertambangannya pun demikian massif. Pertanyaannya, sejauhmana pengawasan oleh instansi terkait ataupun masyarakat selama ini. Faktanya, dunia pertambangan di Sumsel sejauh ini masih diwarnai masalah. Untuk itu, komunitas masyarakat yang tergabung dalam Himpunan Advokasi Tambang dan Lingkungan Hidup (HANTAMLAH) Sumsel ini perlu hadir untuk memperkuat pengawasan tata kelola pertambangan dan dampak lingkungannya,” ujar Ketua HANTAMLAH Sumsel, Hendri Zainuddin, saat Launcing komunitas HANTAMLAH Sumsel di Numa Cafe Palembang, Senin (16/3/2020).
Pada acara yang dihadiri oleh puluhan perwakilan elemen masyarakat tersebut, Hendri Zainuddin menunjukkan salah satu bukti masih karut-marutnya dunia pertambangan di daerah ini.
“Kita bisa lihat hasil Monev Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi RI tahun 2016 terhadap dunia pertambangan di Sumatera Selatan, dimana dari 358 IUP (Izin Usaha Pertambangan), sebanyak 82 IUP yang non clear and clean/CnC”, beber mantan Anggota DPD RI Dapil Sumsel tersebut.
Jika mengacu pada aspek-aspek yang menjadi sasaran utama Korsup Minerba KPK RI tersebut, imbuh Hendri Zainuddin, maka kegiatan pertambangan yang tidak CnC itu masih bermasalah dalam lima hal. Pertama, penataan izin usaha pertambangan (IUP). Kedua, pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha. Ketiga, pelaksanaan pengawasan produksi pertambangan. Keempat, pelaksanaan kewajiban pengolahan/pemurnian hasil tambang. Selanjutnya, kelima, pelaksanaan pengawasan penjualan dan pengangkutan/pengapalan hasil tambang.
“Ini belum bicara dampak lingkungan yang dari tahun ke tahun intensitasnya meningkat. Berdasarkan catatan akhir tahun 2019 WALHI Sumsel misalnya, suhu tertinggi Sumsel 2019 tercatat 37 derajat atau meningkat sekitar 0,39 derjat dalam dua tahun terakhir. Sepanjang Januari-Desember 2019 kita pun disibukkan dengan penanganan bencana ekologis, banjir, longsor, krisis air, karhutlah dan konflik harimau dengan manusia,” ungkapnya.
Hendri Zainuddin menegaskan, berdasarkan hasil kajiannya dengan para pihak, ia pun memprediksi permasalahan dunia tambang dan dampaknya bagi lingkungan akan terus terjadi seiring masih lemahnya pengawasan. Akibatnya, amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ataupun UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih belum mampu sepenuhnya dijalankan.
“Sebaliknya, masih akan terjadi berbagai bentuk ketidakpatuhan dalam hal teknis pertambangan, konservasi sumber daya minerba, keselamatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan hidup, serta reklamasi dan penanganan pascatambang”, ujarnya.
Dia berharap pengawasan yang dilakukan komunitas HANTAMLAM Sumsel akan mendorong pemerintah dan pelaku pertambangan untuk senantiasa berkomitmen mengelola besarnya potensi sumber daya energi di daerah ini dengan baik.
“Tujuannya agar bermanfaat maksimal bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Bumi Sriwijaya ini. Selain itu, agar kondisi alam di daerah ini tetap lestari dan tidak terancam bencana”, pungkasnya. (Yfr)