Jaksa Agung Sikapi Perkara Restorative Justice di Wilayah Hukum Kejati Sumsel 

waktu baca 4 menit
Jumat, 26 Nov 2021 00:32 0 162 Redaktur Romadon

Palembang, Pelita Sumsel – Jaksa Agung Republik Indonesia Dr ST Burhanudin SH MH mengatakan, pihaknya tengah menyikapi perkara restorative justice di wilayah hukum Kejati Sumsel. Menurut Jaksa Agung, yang paling utama dalam restorative justice yakni saling memaafkan, perkara ancamannya tidak lebih 5 tahun, dan kerugiannya tidak lebih Rp2,5 juta.

“Tapi yang paling utama adalah kata maaf. Karena rasa keadilan di masyarakat dengan adanya perdamaian ini. Harus celar, tidak ada dendam lagi, itu yang terpenting,” ujar Burhanudin, saat melakukan kunjungan kerja di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Kamis (25/11).

Dijelaskannya, ada 435 perkara sampai sekarang. Tercacat sejak 22 Juli 2020. “Perkara-perkara ini kecil, seperti perkara Nenek Minah sudah tidak ada lagi. Alhamdulilah, ini dalam rangka menjawab tantangan masyarakat. Hukum itu tidak tajam ke bawah, tumpul ke atas, tapi hukum juga tajam ke atas,” bebernya.

Perlu diketahui kasus Nenek Minah ini mengambil 3 buah kakao seberat 3 Kg milik PT di wilayah Banyumas, Jateng. Nenek buta huruf ini dilaporkan dan diadili. Hingga vonis hukuman percobaan, atau tidak perlu menjalani hukuman, sehingga memenuhi rasa keadilan.

Restorative justice ini mengutamakan perdamaian. “Pihak-pihak berperkara ini didamaikan jaksa, dihadap-hadapkan, jadi tidak ada istilah oh saya sudah damai, itu tidak ada. Harus fisik bertemu dan berbicara untuk berdamai,” tukas Burhanudin.

Tercacat sejumlah penghentian penuntutan berdasarkan rasa keadilan restoratif justice tahun 2021. Kejari Muara Enim, dengan tersangka Alfiansyah, Pasal 362 KUHP. Korban Deva P, kesepakatan damai 8 November 2021. Tanggal 19 September 2021 sekitar pukul 11.00 WIB, di depan Toko Ikan di Jalan Pramuka, Kelurahan Pasar 2, Muara Enim. Tersangka Abang Ojek menggasak ponsel korban berada di dasboard motor korban Deva, diambil tersangka untuk biaya hidup.

Kejari Pagaralam, dengan tersangka Aprida Hendriati dijerat Pasal 351 ayat 1, dengan korban Yuliana Indrawati. Kesepakatan damai, 15 November 2021. Terjadi 2 Agustus 2021 pukul 12.00 WIB, terjadi perkelahian tersangka Apriyadi dengan Yuliana. Tersangka menampar wajah korban dua kali, menarik rambut hingga korban terjatuh namun terus dipukuli.

Laporan sebaliknya, tersangka Yuliana Indrawati, Pasal 351 ayat 1 KUHP dengan korban Aprida Herdianti, 2 Agustus 2021, pukul 12.00 WIB, cekcok mulut. Karena emosi Aprida melempar sandal ke Yuliana. Kemudian Yuliana mencakar wajah dan badan Aprida hinga dilerai. Selanjutnya, Kejari Ogan Komering Ilir, tersangka Muhhad Solichin, Pasal 351 ayat 2 KUHP, korban Purwanto. Korban Purwanto berselingkuh dengan SY istri tersangka. Lalu tanggal 25 September 2021 pukul 09.20 WIB, tersangka Muhhad mendatangi rumah Purwanto dengan menbawa parang hingga membacok korban, hingga luka-luka di kepala, tangan kiri, tangan kanan dan luka dibawah tulang selangkang tengah. Pelaksanaan kesepakatan damai 17 November 2021.

Sementara itu, Jaksa Agung juga menyampaikan secara khusus kebijakan Jaksa Agung khusus penuntasan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat masa kini. Sebagaimana telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pembukaan Rapat Kerja Kejaksaan Tahun 2020. Kejaksaan adalah wajah penegakan hukum. “Oleh karena itu, baik-buruknya penegakan sangat diwarnai oleh kebijakan-kebijakan penegakan hukum kejaksaan,” ujar Jaksa Agung

Selanjutnya Jaksa Agung mengatakan, salah satu kebijakan penegakan hukum yang berpotensi memperburuk wajah penegakan hukum Indonesia adalah penyelesaian dugaan pelanggaran HAM Berat masa kini, yang sampai saat ini seolah berhenti. Tidak ada kejelasan sebagai akibat adanya kebuntuan persepsi antara penyelidik Komnas HAM dengan penyidik Kejaksaan.

Sebagaimana diketahui bahwa hasil penyelidikan oleh Komnas HAM belum sempurna untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan, namun petunjuk penyidik Kejaksaan agar terpenuhinya amanat undang-undang tidak pernah dipenuhi. “Akibatnya, penanganan perkara menjadi berlarut-larut, karena hasil penyelidikan Komnas HAM belum menemukan alat bukti yang cukup untuk menduga bahwa seseorang berdasarkan suatu peristiwa atau keadaan adalah sebagai pelaku kejahatan HAM Berat,” jelasnya.

Selain itu, penyelidik juga belum memeriksa saksi kunci dan menemukan dokumen yang diharapkan dapat menjelaskan unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain  unsur serangan yang meluas atau sistematik sebagaimana dimaksud Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

“Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian dan keadilan, serta mengatasi kebuntuan yang terjadi. maka saya sebagai Jaksa Agung, selaku penyidik HAM Berat mengambil kebijakan penting, yaitu tindakan hukum untuk melakukan penyidikan umum perkara pelanggaran HAM berat masa kini guna menyempurnakan hasil penyelidikan Komnas HAM. Saya yakin kebijakan ini akan memecah kebuntuan, dan menuntaskan perkara HAM yang menjadi tunggakan selama ini”, ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung didampingi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr. Fadil Zumhana, Asisten Umum Jaksa Agung Kuntadi, dan Asisten Khusus Jaksa Agung Hendro Dewanto. Pengarahan Jaksa Agung RI diikuti oleh Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi, para Asisten, Kabag Tata Usaha dan para Koordinator Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, serta para Kepala Kejaksaan Negeri se-Sumatera Selatan di Aula Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. (Ron)

LAINNYA