JAKARTA, Pelita Sumsel – Drama hukum di Indonesia seakan tiada akhir. Pilu dan penuh nestapa. 17 Tahun reformasi, profesionalitas aparat penegak hukum masih terus dipertanyakan.
Kasus terakhir dialami penjual cobek miskin, Tajudin. Warga Pandeglang itu ditangkap pada 20 April 2016 malam.
Polisi dari Polres Tangerang menggerebeknya dengan tuduhan mempekerjakan dua anak, Cepi dan Dendi. Padahal, dua anak itu masih kerabatnya.
“Saya katanya melakukan penjualan orang, mempekerjakan orang. Cuma saya merasa tidak mempekerjakan, saya suruh dia sekolah tidak mau. Orang tuanya yang menitipkan, mereka keponakan saya,” ujar Tajudin.
Tapi alasan itu tidak didengar aparat kepolisian. Tajudin langsung dijeblosin ke sel dan dituduh melanggar UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman 15 tahun penjara. Setelah kasusnya sampai ke pengadilan, Tajudin dituntut 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta.
Di palu hakim, tuduhan polisi dan jaksa tidak memenuhi unsur perdagangan orang. Perjuangan tim LBH Keadilan dikabulkan majelis hakim.
“Melepaskan terdakwa dari dakwaan. Secara sosiologis, anak-anak sudah biasa membantu orang tuanya,” ucap majelis hakim dengan suara bulat, Kamis (12/1).
Tajudin bebas setelah 9 bulan menghuni penjara.
Kasus ini bukan yang pertama. Di Semarang, peradilan sesat menyeret kasir karaoke Sri Mulyati ke penjara pada 2012 silam. Ia dituduh mempekerjakan anak di bawah umur, padahal ia bukanlah pemilik karoke.
Polisi, jaksa dan hakim tetap melegalisasi tuduhan itu hingga Mahkamah Agung (MA) membebaskan Sri setelah 13 bulan menghuni jeruji besi. Tapi lagi-lagi, ganti rugi yang dituntut Sri lewat LBH Mawar Saron terhadap negara sebesar Rp 5 juta, tidak kunjung dikabulkan negara. Gemerincing uang masih jauh dari panggang.
Ada pula pemulung di Kemayoran, Jakarta Pusat, Chairul Saleh, yang juga menjadi korban aparat penegak hukum pada 2009 lalu. Ia dituduh memiliki selinting ganja di rumah bedengnya di tepi rel kereta api. Ia akhirnya divonis bebas setelah menghuni penjara lebih dari 6 bulan.
Ada pula buruh pabrik, Krisbayudi yang mengalami perlakuan serupa pada 2013. Tidak tanggung-tanggung, Kris dituduh aparat Polda Metro Jaya terlibat kejahatan kelas I yaitu pembunuhan ibu dan anak disertai mutilasi.
Setelah mendapatkan penganiayaan, ia akhirnya divonis bebas setelah 8 bulan menghuni penjara. Kris nyata-nyata tidak terlibat. Pelaku sebenarnya, Rahmat Awafi akhirnya dihukum mati dan kini masih menunggu eksekusi mati di dalam LP Cipinang. (adm)
Sumber : detik.com
Tidak ada komentar