Palembang, Pelita Sumsel-Arus politik memang selalu berjalan dinamis. Adanya riak-riak politik di tanah air akhir-akhir ini anggaplah sebagai jalan menuju kematangan demokrasi.
Namun pengalaman Pilkada menunjukan tujuan demokrasi tidak selamanya berjalan mulus, lepas dari rezim otoritarian Orde Baru, persoalan seperti korupsi, pelaksanaan program pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang jalan ditempat. Bahkan proses politik juga tak jarang memunculkan elit otoriter berwajah demokratis.
Tokoh Muda Sumsel, M. Haekal Al-Haffafah menilai konteks Pilkada Sumsel, rakyat hanya menikmati keputusan dan sikap politik elit, tidak ada kritik dan tuntutan. Ketika partai politik dan masyarakat sipil (civil society) telah dikooptasi oleh politisi yang berkuasa (political leaders), hal yang ditakutkan kemudian adalah munculnya diktatorship, suatu pemerintahan yang berjalan tanpa penyeimbang.
“Kelas menengah harus jadi kekuatan penyeimbang, kelas menengah harus bersuara, gagasan untuk membangun kekuatan politik kelas menengah harus dimunculkan karena untuk memulai perubahan itu harus ada pra kondisi kalau tidak selamanya urusan politik itu akan menjadi milik segilintiir elit” Ungkapnya saat dihubungi pelitasumsel.com Minggu (22/10)
Dikatakan Direktur Eksekutif Teras Indonesia ini, Kritik dan pengawalan dari Kelas Menengah itu diperlukan karena hanya kelas menengah punya akses dan sumber daya, baik itu pendidikan akses ekonomi dan lainnya.
“Elemen-elemen professional, baik itu ilmuwan, praktisi, akademis harus bersuara, .Karena semuanya harus ambil bagian untuk mempengaruhi sikap dan keputusan politik yang akan diambil”.Katanya
Lebih lanjut Haekal mengatakan pengalaman dari beberapa Pilkada yang telah berlangsung, Disaat kekuatan penyeimbang tidak terbangun, kecenderungan kekuasaan itu akan otaritarian. Monopoli politik atas sumber-sumber ekonomi yang dikuasai segilintir elit akan lebih mudah tercipta, pemerintahan yang terbangun adalah berdasarkan kedekatan politik, kesamaan partai, kolega bisnis dan monopoli politik berdasarkan hubungan keluarga dan pertemenan.
“Keputusan-keputusan pemerintahpun akan menjadi milik segeilintir elit. Tentu dalam konteks ini rakyatlah yang akan dirugikan, sekalipun proses pemilu secara prosedural sebagai syarat demokrasi telah dijalankan,” Lanjut Fungsionaris DPP KNPI ini
“Kita tidak mempersoalkan siapapun yang akan jadi gubernur, walikota dan bupati kedepan. Siapapun pemimpinnya, sehebat apapun leadershipnya, kita butuh kelas menengah yang kuat, karena dalam demokrasi kritik dari kelas menengah itu diperlukan. Jika tidak ada kritik, tidak ada masukan, pembangunan yang kita gaungkan ini milik siapa ?,”Pungkasnya (zp19)