Jakarta, Pelita Sumsel – Pada Maret 2021 lalu, Pengadilan Federal Australia di Sydney, akhirnya memenangkan gugatan class action sebanyak 15,481 petani rumput laut dan nelayan di Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap PTT Exploration dan Production (PTTEP), sebuah perusahaan asal Thailand.
Gugatan dilayangkan atas tumpahan minyak dari ledakan anjungan minyak di
lepas pantai Montara milik PTTEP. Hingga saat ini, tumpahan minyak tersebut telah mengakibatkan dampak serius terhadap lingkungan, kesehatan, dan mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir dan laut Timor Barat, NTT.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong
mengatakan pihaknya akan mengambil langkah hukum berupa pengajuan
tuntutan perdata di pengadilan negeri dalam penyelesaian kasus ini. Langkah ini menyusul PTTEP karena dinilai telah menyebabkan ecological distraction di
perairan Indonesia.
“KLHK ditugaskan untuk melakukan penuntutan perdata sebetulnya akibat dari ecological distraction, ecological cost yang diakibatkan dari adanya tumpahan minyak ini,” kata Alue Dohong dalam dalam Konferensi Pers yang digelar Forum Merdeka Barat (FMB) 9 secara daring bertema
“Optimasilasi Penyelesaian Kasus
Montana” Jum’at (1/4/22).
Upaya hukum perdata di Pengadilan Negeri ini, Alue menjelaskan, agar
perusahaan (PTTEP) mau membayar ganti rugi terhadap ecological distraction yang disebabkan kelalaian dalam kegiatan operasinal perusahaannya.
Sebetulnya, tambah Alue menjelaskan, jika pihaknya merinci, ada banyak
kerugian bagi Indonesia dari tumpahan minyak milik PTTEP ini. Antara lain, Alue
menyebutkan, ada kerugian secara ekonomi, ekologikal dan kesehatan.
“Jadi sebetulnya kalo kita bicara ini ada economic, ecological dan health cost
akibat dari adanya pencemaran atau tumpahan minyak oleh PTTEP di Montara ini,” terangnya.
KLHK, kata Alue telah menyiapkan sejumlah langkah dalam mengoptimalisasi penyelesaian kasus ini. Pertama setelah Perpres sudah keluar adalah memastikan kembali penuntutan, termasuk mengidentifikasi beberapa tergugat
baru.
Selanjutnya, pihaknya juga menerbitkan surat kuasa khusus baru, baik bagi
Aparatur Sipil Negara (ASN) di internal KLHK ataupun Kejaksaan dan Mahkamah Agung, maupun advokat yang ditunjuk dalam membantu menyusun tuntutan
atau gugatan.
“Berikutnya, KLHK akan melakukan, menyiapkan dan melengkapi alat bukti. Dulu awalnya kita sudah menghitung sebetulnya. Estimasi waktu itu nilai tuntutan
kerusakan ecological itu sekitar Rp21 triliun untuk kerusakan rumput laut, biota
perairan, manggrove dan lain sebagainya,” urainya.
Kemudian nilai yang kedua waktu itu adalah untuk recovery. Nilai rehabilitasi
kerusakan saat itu, kata Alue, lebih kurang sekitar Rp6 trilun. Sehingga, total
estimasi kerugian yang harus dibayar PTTEP berdasarkan perhitungan saat itu
mencapai Rp27 triliun.
“Tentu, kita akan melakukan pemutahiran data-data tersebut. Nah, keputusan
Pengadilan Federal Australia memenangkan para petani merupakan alat bukti
baru ya. Alat bukti yang kuat kita bawa. Tentu kita akan melengkapi lagi dengan
saintifik evidence,” tukasnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdy Tanoni dalam
kesempatan itu menyampaikan apresiasi kepada pemerintah yang telah
mengambil langkah serius membantu masyarakat terdampak dalam upaya
menuntut hak-hak mereka.
“Pertama, saya menyampaikan terima kasih kepada Pak Luhut Panjaitan selaku
Menteri Koordinator Kemaritiman, yang walaupun dalam tiga empat tahun kami
berjalan, beliau selalu berada di samping kami,” kata Tanoni.
Ungkapan terima kasih juga Tanoni sampaikan kepada Presiden Joko Widodo
atau Jokowi. Ia berharap Jokowi dapat segera menandatangani Peraturan
Presiden (Perpres) yang khusus untuk mengatas kasus Montara ini.
“Kepada Jokowi, bahwa kami butuh Peraturan Presiden ini secepatnya
ditandatangani.
Sehingga ini membawa suatu rasa kepercayaan dari rakyat Nusa
Tenggara Timur yang 13 tahun lebih menderita,”
Penerbitan Perpres ini, menurut Tanoni, akan membangkitkan kepercayaan
masyarakat NTT, khususnya warga yang terdampak, bahwa negara sungguh
hadir berada bersama rakyat yang menderita.
“Peraturan Presiden yang terbit khusus untuk kasus Montara ini penting bagi
kami. Sehingga ini Perpres menjadi tanda bahwa benar negara berada bersama
rakyat. Itu saja yang penting bagi kami,” ungkapnya.
Untuk diketahui, hingga saat ini, tumpahan minyak akibat ledakan di unit
pengeboran minyak Montara di Australia pada tahun 2009 telah mengakibatkan
dampak serius terhadap lingkungan, kesehatan, dan mata pencaharian
masyarakat di wilayah pesisir dan laut Timor Barat, NTT.
Peristiwa itu bermula pada 21 Agustus 2009. Ketika itu terjadi ledakan unit
pengeboran di anjungan minyak lepas pantai Montara yang menumpahkan
minyak dan gas. Total luas tumpahan diperkirakan mencapai kurang lebih 92
ribu meter persegi.
Departemen Sumber Daya, Energi, dan Turisme Australia memperkirakan aliran
minyak yang tumpah sekitar 2000 barel per hari. Tumpahan minyak ini baru bisa
teratasi pada November 2009 atau setelah 74 hari dan menumpahkan sekitar
40 juta liter minyak ke perairan antara Indonesia dan Australia.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 melansir, 29 hari
setelah ledakan, tumpahan minyak menyebar ke arah barat, berada sekitar 110 km pesisir Namodale, Rote Ndao dan 121 km Oetune, Kupang, Nusa Tenggara
Timur (NTT).
Citra satelit Terra-MODIS pada 28 September 2009 mendeteksi tumpahan
minyak kembali mendekati perairan Indonesia dengan jarak paling dekat, sekitar
47 km dari pesisir Rabe, Kupang dan 65 km dari Batuidu, Rute Ndao, NTT.
Tumpahan minyak ini menghancurkan panen rumput laut para petani pada
2009. Pemerintah menemukan ada tigabelas kabupaten di NTT yang terkena
dampak dari kasus Montara.
Berbagai upaya dilakukan masyarakat untuk menuntut keadilan. Pada tahun
2016, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni mendaftarkan gugatan
kepada pemerintah Federal Australia dan perusahaan pencemar asal Thailand
PTTEP.
Rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi korban pencemaran minyak itu
mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Federal Australia di PBB
sebesar US$ 15 miliar atau sekitar Rp209,3 triliun.
Class action ini diajukan dengan pengadu Daniel Sanda, seorang petani rumput
laut dari Pulau Rote mewakili lebih dari 15.000 petani rumput. Langkah gugatan
yang dilakukan karena upaya damai yang dilakukan kedua belah pihak selalu
tidak membuahkan hasil, sehingga gugatan secara class action dinilai paling
memadai untuk menjawab keluh kesah para petani rumput laut di NTT.
Pada bulan Agustus 2017, pemerintah membentuk gugus tugas penanganan
kasus Montara, The Montara Task Force. Satuan tugas ini dibentuk untuk
menyatukan pandangan pemerintah dan nelayan di Laut Timor untuk
memenangi gugatan.
Satgas juga mengumpulkan data-data untuk menjadi dasar tuntutan tersebut
adalah data dari citra satelit LAPAN, data sampel minyak di Pulau Rote, data
kualitas air, serta data dari dampak kerugian sosial ekonomi yang ditanggung
masyarakat di wilayah Timor Barat
Ketua Montara Task Force, Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan permasalahan
pencemaran tak hanya pada tumpahan minyak, tetapi juga penggunaan bubuk
kimia dispersant jenis Corexit 9872 A dan lain-lain yang sangat beracun.(Rill)