Gambar_Langit

Menteri PPPA: Perkawinan Anak Harus Dihentikan!

waktu baca 5 menit
Sabtu, 8 Agu 2020 19:14 0 92 Admin Pelita

Jakarta, Pelita Sumsel – Perkawinan bukanlah sekadar romantisme belaka, namun terkait keniscayaan untuk membangun peradaban bangsa yang tanggung jawabnya tidak mungkin diletakkan pada anak yang masih harus diasuh dan dilindungi tumbuh kembangnya. Namun faktanya, walaupun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 terjadi penurunan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun, yakni pada 2018 angka nasional perkawinan anak sebesar 11,21 persen, dan turun menjadi 10,82 persen pada 2019, pada 2019 masih terdapat 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional. Oleh karenanya, kita semua wajib memerdekakan anak-anak Indonesia dari jeratan praktik perkawinan anak.

“Tidak hanya menjadi perhatian bagi pemerintah daerah, masalah perkawinan anak merupakan kekhawatiran kita semua, karena dampaknya mengakibatkan banyak kegagalan yang dialami oleh Negara, masyarakat, keluarga, bahkan oleh anak itu sendiri. Perkawinan Anak harus dihentikan! Batas usia perkawinan 19 tahun harus terus disosialisasikan secara intensif dan masif. Dengan adanya sinergi yang dilakukan bersama antara pemerintah dengan lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media, kami berharap dapat mengubah cara pandang para orangtua dan keluarga yang mempunyai tanggung jawab dan berkewajiban untuk memerdekakan anak-anak Indonesia dari jeratan praktik perkawinan anak,” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga pada Talkshow Sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dengan tema Batas Usia Perkawinan dalam Berbagai Perspektif yang diselenggarakan secara virtual.

Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah disahkan pada tahun 2019. Dalam undang-undang tersebut telah mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun. Hal ini telah mengakomodasi prinsip kesetaraan dan juga bentuk afirmasi yang progresif.

Oleh karenanya, senada dengan Menteri Bintang, Ketua Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Giwo Rubianto Wiyogo mengatakan pentingnya untuk melakukan sosialisasi terkait Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan, terutama terkait batas usia perkawinan.

“Logikanya, dengan adanya peningkatan batas usia perkawinan akan membuat praktik perkawinan anak berkurang, atau bahkan tidak ada. Namun, faktanya tidaklah demikian. Oleh karenanya, menjadi penting untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan agar masyarakat dapat mengedukasi lingkungannya, terutama terkait batas usia perkawinan. Pencegahan perkawinan anak merupakan tanggung jawab kita bersama, karena begitu besar taruhannya bagi eksistensi anak bangsa,” tutur Giwo.

Untuk mempercepat penurunan perkawinan anak, sejak 2018 Kemen PPPA telah melakukan beberapa upaya, dan dikuatkan kembali pada 2020. Upaya tersebut diantaranya Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPPA) yang keanggotaannya melibatkan 17 kementerian/lembaga dan 65 lembaga masyarakat. Selain itu, 20 provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi (tahun 2018) juga telah membuat Pakta Integritas yang melibatkan dunia usaha, para tokoh agama dari 6 (enam) lintas agama, Forum Anak, dan Jurnalis Kawan Anak.

Berdasarkan data BPS pada 2019, Provinsi Kalimantan Selatan menempati posisi pertama dengan jumlah perkawinan anak paling tinggi, yakni 21,2 persen. Sebuah provinsi akan menjadi fluktuatif terhadap perkawinan anak jika tidak gencar melakukan upaya dalam pencegahan perkawinan anak.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin menjelaskan dan mengingatkan kepada seluruh pemangku kepentingan utamanya para pimpinan daerah bahwa banyak akibat yang terjadi jika perkawinan anak kita biarkan. Ada 3 (tiga) dampak yang paling tampak dan mudah diukur, yakni dampak terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

“Pertama, pendidikan. Sebagian besar perkawinan anak menyebabkan anak putus sekolah, sehingga menghambat capaian Wajib Belajar 12 Tahun. Kedua, kesehatan. Hal ini terkait kondisi kesehatan reproduksi seorang anak jika memiliki anak, pemenuhan gizinya ketika mereka juga harus mengasuh anak mereka, bahkan hal terburuk adalah risiko kematian ibu dan anak. Ketiga, ekonomi. Seorang anak yang menikah pada usia anak susah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menafkahi keluarganya, mendapatkan upah yang rendah, lalu akhirnya memunculkan kemiskinan dan masalah pekerja anak. Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi adalah 3 variabel yang digunakan untuk menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sehingga tingginya perkawinan anak akan berpengaruh terhadap rendahnya IPM,” jelas Lenny.

Sementara itu, di tingkat daerah, Bupati Bogor, Ade Yasin mengungkapkan bahwa berdasarkan Sensus BPS 2018 karakteristik seseorang yang menikah di bawah umur adalah anak perempuan pada rumah tangga dengan pengeluaran lebih rendah, anak perempuan di daerah pedesaan, dan anak perempuan berpendidikan rendah. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor tradisi, budaya, dan ekonomi. Ade menambahkan, Pemerintah Kab. Bogor telah melakukan beberapa upaya dalam menekan angka perkawinan anak.

“Upaya yang kami lakukan untuk mencegah perkawinan anak diantaranya menyediakan akses ke pendidikan formal (Program Bogor Cerdas), mendidik kaum muda tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak anak, serta melakukan sosialisasi kesetaraan gender hingga tingkat akar rumput. Kami bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) juga menggerakkan pariwisata berbasis desa. Ternyata, banyak anak perempuan yang terlibat pada pariwisata berbasis desa tersebut, sehingga mereka fokus untuk mendorong desanya agar lebih maju, terutama secara ekonomi. Hal ini akhirnya membuat mereka lupa untuk melakukan perkawinan anak. Kami terus melakukan pemantauan terkait perkawinan anak di wilayah kami, namun kami masih sulit untuk memantau pernikahan yang dilakukan secara siri,” tutur Ade Yasin.

Di tingkat desa, Kasubdit Kesejahteraan Masyarakat Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT), Ibrahim Ben Bella Bouty menjelaskan bahwa upaya pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh Kemendes-PDTT adalah melalui fasilitasi Desa Inklusif dengan menggunakan pendekatan Desa Inklusif yang Ramah Anak.

“Desa Inklusif adalah kondisi kehidupan di desa yang setiap warganya bersedia secara sukarela untuk membuka ruang kehidupan dan penghidupan bagi semua warga desa. Upaya pencegahan perkawinan anak di Desa Inklusif menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola pelaksanaan Desa Inklusif yang Ramah Anak. Melalui Desa Inklusif, kami berusaha untuk membangun kesadaran masyarakat desa melalui pelatihan-pelatihan dan kampanye tentang pencegahan perkawinan anak, dan menggerakkan mereka untuk berpartisipasi aktif secara sukarela dalam pencegahan perkawinan anak,” ujar Ibrahim. (jea/rls)

LAINNYA