Palembang, Pelita Sumsel – Pemilu Serentak 2019 menghadirkan lima pemilihan sekaligus mulai dari Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota, dan DPD RI. Tapi pelaksanannya diwarnai sejumlah persoalan.
Sejauh ini, Jumlah petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang meninggal dunia terus bertambah. Data sementara secara keseluruhan petugas yang tewas mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri. Ini sebuah torehan tinta sejarah yang kelam bagi pesta demokrasi Indonesia.
Hal lain, banyak pemilh kebingungan ketika harus memilih calon anggota legislatif lantaran informasinya tenggelam oleh pemilihan capres dan cawapres. Di luar negeri, pemilih kehilangan haknya karena durasi pencoblosan yang terbatas.
Berbagai masalah tersebut dipaparkan langsung oleh Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Sumatera Bagian Selatan (Badko HMI Sumbagsel) Bambang Irawan.
“Memang barangkali ada kekurangan, kelemahan dalam pelaksanaannya baik di dalam negeri dan luar negeri, kendati demikian tentu semua kekurangan Dan lainnya itu sudah diprediksi oleh Penyelenggara, saya yakin itu sudah ada catatan.” kata Bambang, Jebolan Strata Satu UIN Raden Fatah Palembang, Rabu (08/05).
“Misalnya kurangnya kertas suara dan tidak siapnya penyelenggara. Kelemahan-kelemahan itu sudah kita catat dan nanti kita bahas untuk didiskusikan di internal beserta rekan-rekan activis lainnya untuk nantinya direkomendasikan pada pelaksanaan Pemilu ke depan,” sambungnya.
Kendati terkait meninggalnya ratusan anggota KPPS, menurut Bambang, tak lepas dari takdir Tuhan, namun sangat perlu kita cermati kematiannya.
“Itu takdir. Kita enggak bisa memprediksi kematian seseorang, Akan tetapi dengan banyak korban berjatuhan baik dari KPU, Bawaslu Dan aparat keamanan tentu kita dapat meneliti lebih dalam penyebabnya, karena ini sebuah catatan terburuk dalam pesta demokrasi Indonesia” tukasnya.
Namun demikian, persoalan tersebut menjadi catatan penting pemerintah. Jika dalam pelaksanaan pemilu selanjutnya dinilai perlu untuk menambah anggota KPPS, maka hal itu bisa saja dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Pemilu.
Hanya saja, jika merujuk pada Undang-Undang Pemilu saat ini, jumlah KPPS tak bisa diutak-atik lagi yang hanya berjumlah tujuh orang.
“Itu semua ada di Undang-Undang kita tidak bisa sembarangan menambah petugas-petugas itu. Semua sudah ditetapkan Undang-Undang. Namun jika usul kami bisa di pertimbangkan, kami rencana merekomendasikan untuk KPPS itu mesti berusia 35 tahun ke bawah” Usul nya.
Lebih jauh, Bambang mengatakan, menyakini pemerintah tengah menyiapkan beberapa opsi pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang, melihat pada masalah yang timbul pada Pemilu 2019. Yakni mengubah sistem keserentakannya, dibagi menjadi serentak nasional dan serentak daerah atau serentak eksekutif dan serentak legislatif.
“Pemilu 2024 itu kan ketetapannya serentak, tapi seperti apa serentaknya? Itu akan dibicarakan lagi setelah evaluasi oleh pemerintah dan DPR. Supaya tidak terjadi seperti sekarang ini, yang pastinya boleh saya katakan ini sebuah uji coba yang amat buruk, karena menelan banyak korban jiwa” imbuhnya.
Pada Pemilu 2024, masyarakat Indonesia tidak hanya disodorkan pada pemilihan lima entitas yaitu Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota, dan DPD RI. Tapi ditambah dengan kepala daerah.
Meski begitu, Bambang menilai pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 telah membuktikan manajeman dalam Penyelenggara mesti harus diperbaiki lagi.
“Kalau kita lihat secara umum ini kurang berhasil, kurang aman, kurang lancar, kurang damai.” Keluhnya
Intinya HMI sangat berharap, semua elemen lapisan masyarakat sampai kepada pemerintah untuk bersama-sama meneliti jauh lebih dalam kematian ratusan petugas pemilu serta kedepan intensif dalam jaminan kesehatan harus di buatkan, hasil dari pemilu 2019 itu sendiri dari banyaknya KPU salah input dalam situng, bawaslu yang cenderung agak kurang cekatan dalam menanggapi laporan masyarakat Dan terakhir, keterlibatan aparat kepolisian yang ikut-ikutan memegang salinan hasil penghitungan suara atau formulir C1.
“Pasal 390 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sudah mengatur dengan jelas siapa saja pihak yang memegang dan mendapatkan salinan C1. Dalam UU Pemilu tersebut, dikatakan pihak yang memegang C1 adalah KPPS dan salinannya diberikan kepada saksi dan pengawas, namun jika Polri-TNI mau mendokumentasikan dalam bentuk foto/memotret itu diperbolehkan bahkan termasuk masyarakat awam pun di perbolehkan” pungkasnya. (YF)