Peselisihan PHK, Sering Abaikan UU Ketenagakerjaan

waktu baca 2 menit
Jumat, 9 Jun 2017 18:07 0 214 Redaktur Pelita Sumsel

Palembang, Pelita Sumsel – Berdasarkan data dari Dinas Tenagakerja (Disnaker) Kota Palembang, sepanjang Januari sampai Mei ini, disnaker telah menerima 15 laporan perselisihan hubungan industrial yang didominasi dengan kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. Dari ke-15 kasus tersebut, satu diantaranya berakhir di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

 

“Kebanyakan laporan yang masuk tentang tidak terpenuhinya hak-hak PHK sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan,” ungkap Kepala Disnaker Dicky Lenggardi melalui Kabid Syarat Kerja, Pengupahan, Jaminan Sosial, dan Hubungan Industrial Disnaker Fahmi Fadilah Hatta, Jumat (9/6).

 

Ia tidak menampik masih terjadinya perselisihan antara perusahaan dan karyawan dikarenakan pihak perusahaan, khususnya di bidang HRD, cenderung mengabaikan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dimana seharusnya perusahaan tidak boleh melakukan PHK secara sepihak.

 

“Ketentuannya itu yakni harus didahului dengan surat peringatan 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Ini juga berlaku untuk karyawan yang tersandung masalah hukum, tidak boleh di-PHK sebelum ada keputusan dari pengadilan,” terangnya.

 

Ia menyebutkan, ada beberapa jenis PHK yang diatur Undang-Undang Ketenagakerjaan, antara lain PHK indisipliner, PHK terlibat hukum (kriminal), PHK efesiensi, pailit, dan lainnya. Jenis-jenis PHK ini mempunyai perhitungan sendiri terkait uang pengganti atau pesangon.

 

“Namun kebanyakan karena alasan efisiensi,” imbuhnya.

 

Untuk di Palembang sendiri, hingga saat ini terangnya jarang ada PHK massal. Terakhir terjadi pada Desember 2016 lalu yang dialami 91 karyawan PT SAP yang dialihkan menjadi karyawan PT FGS.

 

“Tuntutan hak pesangon dan THR semakin merucut karena kelalaian pihak SAP, tidak ada akta penyerahan pekerja,” tukasnya.

 

Sementara itu, Tim Mediator Disnaker Palembang Afik Afrizal menambahkan, dokumentasi yang lengkap bisa menjadi instrumen di PHI bagi kedua belah pihak. Namun sebelumnya, harus sudah melewati proses perudingan bipartit dan tripartit sesuai dengan  UU No.2/2004 tentang  Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

 

“Tupoksi hanya kami sampai batas mengeluarkan risalah dan anjuran yang bersifat tidak mengikat. Selanjutnya ditangani pihak PHI,” tuturnya.

 

Selain tidak memahami undang-undang lanjutnya, juga banyak perusahaan yang mengabaikan Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang pengupahan. Sebagaimana disebutkan bahwa perusahaan wajib mengeluarkan slip gaji sebagai gambaran komponen upah per bulannya.

 

“Slip gaji ini penting sebagai acuan kalau terjadi PHK. Mungkin karena karyawannya banyak, buat slip gaji jadi repot. Kita sudah berkali-kali ingatkan ini wajib,” ungkapnya. (Ra)

Redaktur Pelita Sumsel

Media Informasi Terkini Sumatera Selatan

LAINNYA